Sunday, January 10, 2010

Mozaik Akhir Pekan

Sore dipenghujung hari kerja…
Aku bersiap-siap menyelesaikan deadline berita lebih awal dari biasanya, sebelum jam 3 sore. harapannya minimal jam 5 lewat sedikit aku sudah bisa go out dari kantor. sore ini seperti rutinitas biasa dihari jum’at, Aku berencana pulang ke Banjarbaru. Entah apa sebabnya, menurutku suasana Banjarbaru yang tidak begitu sesak dan sumpek layaknya Banjarmasin, mampu menjadi obat untuk menghilangkan rasa jenuh sepanjang hari kerja.
Tapi ternyata prediksiku salah, jam 5 kembali ke kantor, tidak seperti biasa aktivitas kantor sepi, hanya ada seorang reporter yang usianya lebih tua 4 tahun diatasku. sementara kepala pemberitaan sekaligus redaktur kami yang biasanya berkutat membenahi berita yang disetorkan para reporter juga tidak berada ditempat. Segera aku mengecek beritaku yang berada disamping komputer produksi, niat awal mau langsung rekaman mengisi voice berita sendiri, kali aja sudah masuk proses editing saat ku tinggalkan sejenak tadi. Tapi ternyata belum, jadilah aku harus menunggu untuk beberapa waktu lamanya.
Tak ada rasa jengkel ataupun kesal, karena begitulah kantor kami, semuanya sangat kekeluargaan. Saking baiknya, redakturku juga hampir tidak pernah marah pada kami kami, misalnya menyetor berita terlambat atau melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh tim pemberitaan. Jadi tak ada alasan bagiku untuk marah kepada redaktur lantaran sudah hampir jam setengah 6 beritaku belum masuk proses editing.
Akhirnya aku baru bisa pulang dari kantor selepas adzan magrib. Siap dengan tas ransel berisi pakaian kotor selama 1 minggu dan slayer yang ku jadikan pelindung wajah dari debu dan kabut asap yang diprediksi memuncak dibulan agustus. lamat2 aku mengendarai sepeda motorku mengambil arah kanan dari kantor gubernur, dengan satu tujuan secepatnya pulang ke Banjarbaru.
Kira2 300 meter mendekati area bandara syamsuddin noor, aku menurunkan kecepatan sepeda motorku, dari yang semula 80 km/jam menjadi 20 km/jam. Ada yang menarik perhatianku, seorang ibu dengan cover ditangan kirinya dan tas jinjing ditangan yang satunya lagi. disampingnya ada seorang anak kecil berusia mungkin sekitar 7 tahunan. Ia berjalan gontai, menuju arah yang sama denganku. Pelan Aku memperhatikan wanita yang usianya mungkin tak terpaut jauh dari Ibuku itu. Aku ragu, antara rasa was-was dan keinginan kuat untuk berhenti lalu menanyakan beliau ingin kemana dan apakah membutuhkan bantuan.
Namun rasa penasaran sepertinya jauh lebih besar daripada rasa takutku, Akhirnya Aku memilih berhenti dan menghampirinya. Awalnya wanita yang entah siapa itu kaget, ia menatapku sebentar, jujur Aku takut. Aku menanyakan dengan bawaan sebanyak ini dia mau kemana, menjelang malam seperti ini Kenapa tidak naik angkot saja. Dia menjawab sekenanya dia sudah tidak mempunyai uang lagi untuk naik angkot, hanya tersisa uang ribuan 2 lembar. Aku terharu, kutawarkan bantuan untuk mengantarnya pulang.
Sebutlah namanya Jumi, bahasanya menggunakan logat jawa yang kental, meskipun dibahasakan dengan pelan, tapi aku tau itu bukan bahasa jawa halus. Dari ceritanya selama diperjalanan akhirnya Aku tau, Ibu jumi keturunan jawa yang menghabiskan masa kecilnya di daerah ini, tepatnya disekitar daerah gunung ronggeng perbatasan banjarbaru dan martapura. 5 tahun setelah menikah, ia dan suaminya terpaksa pergi merantau ke surabaya, ada pekerjaan yang cukup menjanjikan untuk memperbaiki kondisi hidup mereka yang saat itu sedang terpuruk. berharap tawaran itu mampu menjanjikan kebahagiaan bagi masa depan anak mereka. Malangnya, suaminya menelantarkannya dan memilih hidup bersama wanita lain tanpa alasan yang menurutnya ia sendiri tidak tau kenapa. Ibu jumi sendiri memilih kembali ke kampung halaman bersama anaknya karena ingin menghapus rasa sedih yang sering kali menyergapnya, selain itu ia masih memiliki satu saudara di daerah ini. Ia berbicara dengan nada yang coba ditegar2 kan, tapi bisa didengar dengan jelas ada kesedihan yang coba disembunyikan dalam2 disana.Hatiku teriris, nyeri menahan sakit, tega sekali! Bukankah sebelum ijab kabul diucapkan akan selalu ada komitmen??
Dalam perjalanan itu aku sempat bertanya, saat ini suaminya ada dimana. Ibu jumi tidak langsung menjawab, dia hanya menarik nafas pelan, cukup panjang dan terdengar agak berat..sambil tersenyum dia mengatakan, suaminya sekarang ada di Jember dan sudah memiliki 1 anak dengan wanita itu. 'mungkin dia sudah tidak ingat lagi dengan ibu' katanya dengan nada pasrah, Aku diam. tak berani berkata apapun. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati, semoga Allah memberi kekuatan dan kelapangan hati untuk menghadapi semua ujian yang sedang dialaminya

disepanjang perjalanan menuju Asrama sepulang mengantar beliau, fikiranku melayang..tidak tau apa kesimpulannya. yang pasti Aku teringat kedua orang tua, Ayah dan Ibuku dirumah..Apa yang sedang mereka kerjakan,bagaimana hubungan keduanya.. ah, semoga Allah menguatkan ikatan cinta antara mereka dan mengabadikannya hingga ke syurgaNya..

Banjarbaru, menjelang isya...

No comments: