Sunday, January 10, 2010

Jurnalis Akhwat, Mengapa Tidak??

Tidak sedikit yang bertanya, mengapa akhirnya aku tergiur terjun mendalami dunia jurnalistik dan berkiprah di media massa, padahal latar belakang studyku matematika sains. Ini juga lah yang menjadi salah satu senjata yang digunakan dewan redaksi untuk membantaiku sewaktu tes wawancara saat memasuki dunia jurnalistik. tapi Alhamdulillah semuanya bisa ditangkis dan kujawab degan tepat, setidaknya begitu menurutku.
Mengapa Jurnalis? Karena Aku memang sudah mendambakannya jauh sebelum aku lulus kuliah. Dilatar belakangi peran muslimah di media massa yang memang begitu minim. Kalaupun ada ikhwah di media massa, banyak yang gugur atau jenjang karir kepenulisannya tak begitu baik. Ia dihargai bukan lantaran upayanya dan keahliannya dalam menulis, tapi hanya sebatas kondisi kantor yang mungkin terlalu mengedepankan prinsip kekeluargaan. Padahal media massa adalah salah satu alat untuk menguatkan eksistensi da’wah, simpul-simpul syiar islam, sarana pendidikan dan pencerdasan masyarakat, dan banyak lagi.
Teman2 bisa bayangkan,tanpa media massa maka tak mungkin penyebaran informasi bisa terjadi begitu cepat, orang hanya akan bermain di sisi dugaan. Disinilah peran Media massa, tiap jurnalis bertugas memperjelas dugaan dan menjadikan informasi tersebut layak untuk dipercaya. Ambillah contoh kasus virus H1N1 atau flu babi yang tersebar begitu cepat secepat kekuatan virus tersebut menginveksi. Namun disisi lain media massa juga harus berhati-hati, agar bisa memberitakan sesuatu sesuai proporsinya dan tidak berlebihan sehingga membuat masyarakat resah atau bahkan panik.
Media punya kekuatan! Hingga ada harapan besar yang mencuat dihati saya untuk juga bisa berperan didalamnya. ada sebuah tekad untuk menjadikan kekuatan media juga harus menjadi kekuatan muslim, meskipun saya yakin hal tersebut tidak mungkin dilakukan sendirian.
Kekuatan media massa terletak pada kemampuannya mempengaruhi opini umum. Ia dapat bergerak sebebas mungkin, sebebas kepentingan dari sipenggeraknya. Masalahnya sekarang adalah peran dunia islam yang masih sangat minim dalam dinamika yang terjadi pada dunia media massa. Berangkat dari keterbatasan umat islam itu sendiri, berbagai kendala muncul dari internal pribadi umat islam, seperti etos kerja, keterampilan, sampai pada keahlian dan semangatnya berwacana. Hal ini harus disadari. jika yang disebut-sebut sebagai momen kebangkitan umat islam ingin dicapai dalam bentuk realita, harusnya wacana tersebut tidak hanya berputar diangan-angan setiap muslim. Mungkin, kurang lebih inti beberapa baris ‘The Maastricht ’ inilah yang menjadi inspirasi agar saya yang juga seorang muslimah dapat mengambil peran didalam bagian-bagian da’wah ini, khususya didunia media meskipun masih sangat kecil.
Ketika sudah berada di dunia media massa apakah tantangan berhenti? Ternyata tidak teman, karena Kualitas tulisan dari para junalis muslim juga akan terus di uji. Sejauh mana tulisannya akan berpengaruh dalam pembentukan opini massa. Sejauh mana karyanya akan dilirik oleh pembaca, didengar oleh pendengar dan ditonton oleh pemirsa. dan apakah tulisannya tersebut memiliki nilai jual tinggi ditengah mafia global dunia penerbitan. Hal tersebut tentusaja harus dijadikan bahan evaluasi akan prestasi jurnalis muslim. Tujuan untuk selalu menyajikan berita berimbang merupakan sebuah tantangan, apalagi berhadapan dengan derasnya arus informasi yang dilatar belakangi banyak kepentingan, baik politis maupun pragmatis. Tentunya hal ini harusnya menjadi pembelajaran bagi seluruh jurnalis pemula, termasuk saya. Apakah selalu tergoda untuk menulis hanya dari satu sudut pandang saja, dan meremehkan atau menampik hal2 yang bersebrangan. Atau sebaliknya? Meramu kontroversi menjadi suatu berita yang menarik dan mencerdaskan konsumen media.
Tentunya, menulis hanya dari satu sudut pandang tidak akan memperkaya siapapun, bahkan bisa jadi dampaknya, tudingan tendensius justru tidak akan berhenti ditampung oleh pihak-pihak yang kita bela, belum lagi justifikasi dari orang lain yang menilai keberpihakan kita.dan parahnya kita akan terus berfikir sempit dan berputar pada satu hal yang sama yang mungkin tidak akan mencerahkan.
Lalu masihkah ada yang mempertanyakan mengapa saya memilih profesi ini? atau haruskah ada akhwat yang menjadi Jurnalis? How about you?

Banjarmasin..menyambut fajar...

No comments: