Sunday, December 30, 2007

Resume : Malapetaka demokrasi Pasar

Sejarah telah usai” teriak francis fukuyama. Itu didengungkan tepatnya setelah komunisme di Uni soviyet runtuh. Dan demokrasi liberal yang ditunggangi kapitalisme menjadi pemenang tunggal peradaban. Lantas seperti yang diungkapkan fukuyama, tugas manusia modern menjadi semakin ironis; hanya merawat dunia yang laksana museum tambo.
Benarkah demokrasi liberal dan kapitalisme adalah satu-satunya kebenaran? B
enarkah tidak akan ada perlawanan terhadap dominasi two towers ? benarkah ini sistem yang terbaik dan tidak akan mengalami krisis internalnya? Diatas gugatan itulah buku ini berdiri. Buku ini mencoba membongkar keyakinan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah kebenaran tunggal yang tergugat. Bahwa demokrasi liberal dan neoliberalisme adalah dua sisi mata uang yang menyesatkan peradaban manusia itu hendak dibuktikan oleh karya Coen husain Pontoh ini. Karna itu prakarsa untuk membongkar dan mencari alternatifnya adalah sah dan niscaya.

Ironis demokrasi liberal

Teoritisi demokrasi ala joseph schumpeter yaitu demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil. Senada dengan itu Hutington menyatakan kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala serta partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita2 mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal prosedural dan tekhnis yakni PEMILU.
Geoff mulgan dalam kritiknya terhadap demokrasi, pertama; demokrasi cendrung melahirkan oligarki dan tekhnokrasi. Apa mungkin tuntutan rakyat di akomodasi oleh orang yang menilai politik sebagai karir untuk menambang keuntungan finansial? Kedua; prinsip2 demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi telah dibajak oleh para pemilik modal. Keterbukaan berarti keterbukaan untuk pemilik modal besar, kebebasan berarti kebebasan investasi bagi perusahaan multi nasional, kompetisi berarti persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya. Ketiga; media mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cendrung menggantikan partisipasi rakyat yang berujung pada semakin kecilnya partisipasi langsung dan kedaulatan langsung rakyat.
Negara adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum berlangsung. Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan kesejahteraan, menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu negara membutuhkan sebuah persekutuan taktis dan cepat. Karena hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia (yang memiliki kekuatan modal besar) maka demokrasi membutuhkan kapitalisme begitu juga sebaliknya. Darisini persekutuan najis itu mulai tercipta. Di ujung jalan, tampaknya kapitalisme lah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan poerdagangan bebas ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi ia mulai menyiasati demokrasi lalu muncullah makhluk lama dengan baju baru: neoliberalisme.
Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul lalu menjalankan tak-tik silent take over (penjajahan yang terselubung). Neolib kemudian mengusung proyek besar dunia:globalisasi. Paling tidak ada dua faktor yang mendorong gagasan neoliberalisme ini dipakai, pertama; krisis besar dan resesi ekonomi terutama mengenai amerika serikat dimana mereka mengalami over produksi baik perusahaan multi nasional maupun perbankan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme pada negara-negara miskin. Kedua; model negara kesejahteraan (welfare state) mengalami kebangkrutan akibat besarnya pengeluaran yang harus dikeluarkan negara untuk jaminan sosial rakyatnya. Akhirnya kemenagan neolib adalah kemenangan bagi perusahaan multi nasional dan para corporate yang juga berarti kemenagan bagi negara maju untuk memberikan tekanan pada negara miskin agar mematuhi doktrin khas neolib: liberalisasi- privatisasi-diregulasi.

(Nasib Indonesia pun, ga jauh-jauh dari gambaran diatas. sekarang yang berlaku di Indonesia tak lebih dari Demokrasi prosedural!-- kesengsaraan yang berjubah kesejahteraan)

No comments: