Monday, May 28, 2007

Engkau Kembali

Engkau kembali…

Dengan sebuah nama

Yang sejatinya adalah milik kita yang karam

Menampar pipiku telak

Yang coba menatap garang pemilik setiap nama

Tulang dan Dagingku tercabik,

Tercecer dijalanan pengembaraan

Dan melumut hingga tak memendarkan cahaya.

Engkau kembali…

Menyodok ghirohku yang tertinggal kereta

Menggigilnya tubuh ini adalah getaran hati menepis kabut

Yang linglung akan azzam

Tujuan itu dilumuri lumpur sendiri

Kerinduan menyeruak pada putihnya hati

Pada nada malam yang sujud

Pada perniagaan dan resiko indah yang telah ditawarkan..


Banjarbaru, 2003…(ini tulisan lama)
Maaf...terbesar kepada diriku dan orang2 yang ngasih tugas

Saya tidak mampu menyelesaikan 2 tema tulisan saya (pendidikan ‘n’ wanita&zaman) minggu ini….Haruskah diriku dihukum??????????????

CEREMONY YANG KEHILANGAN ARTI

12 rabiul awal, sebenarnya adalah momentum yang cukup sakral bagi masyarakat muslim. Dimana ditanggal tersebut tercatat beberapa agenda pemenangan al haq diatas al bathil. Mulai dari dihancurkannya pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah hingga momen kelahiran Muhammad sebagai insan pilihan yang membawa risalah kebenaran.

Sepuluh hari terakhir, tepatnya tanggal 31 maret yang lalu umat muslim sibuk memperingati momentum kelahiran Rasulullah. Maraknya acara ini tidak hanya tercermin dielemen masyarakat saja, tapi seluruh elemen turut memperingatinya, dikantor-kantor dinas, di kampus, bahkan disekolahpun demikian. Apalagi dengan corak dan budaya masyarakat Kalimantan selatan yang konon sangat agamis. Bahkan yang saya ketahui ada suatu kota di Hulu sungai tengah, yang begitu repot dengan adanya momentum maulid ini, perayaan ini berlangsung sekitar satu bulan lamanya, “hari raya sabulanan” begitu mereka menyebutnya. Saya tak ingin berpanjang lebar memperdebatkan ini, namun ada suatu pertanyaan besar yang bermain-main dibenak saya ketika menyaksikan fenomena masyarakat tersebut. Pertanyaan besar tersebut adalah, apakah nilai-nilai subtansif dari maulid rasul sudah teresapi dengan baik? Apakah adanya ceremony millad Rasul ini cukup berarti??

Iseng saya melakukan inspeksi mendadak terhadap beberapa adik tingkat panitia pelaksana millad Rasul dikampus saya. Namun cukup kaget rasanya ketika yang ditanya nampak bingung harus menjawab apa. Akhirnya, keluarlah jawaban sederhana dari lisannya, “Ini kan proker BEM ka, harus dilaksanakan. Lagian lumayan program pertambahan gizi gratis”. Entah bercanda atau tidak, yang pasti mendengar jawaban itu gantian saya yang tercengang. MasyaAllah…separah inikah?

Mungkin tidak jauh berbeda kalau yang menjadi objek inspeksinya adalah masyarakat. Karena rata-rata tradisi ini sudah sangat membudaya diKalimantan Selatan. Bukan tidak mungkin banyak warga yang melakukan hal ini karena tradisi dari kultur masyarakat Banjar, sehingga ada rasa tidak enak dihati kalau tidak memperingati. Mungkin fenomena inilah yang menjadi ketakutan besar Rasulullah hingga membuat tubuhnya terguncang membayangkan nasib umatnya kelak, fenomena dimana umat kehilangan makna-makna subtansif dari apa yang ia saksikan, apa yang ia dengar bahkan apa yang ia lakukan.

Ceremony yang kehilangan arti, wajar jika saya berpendapat seperti ini demi melihat fenomena yang mekar ditengah umat hari ini. Betapa kaum kuffar bertepuk tangan dengan keras karena telah berhasil meniupkan angin ghazwul fikri ditubuh umat. Ya, kita hari ini lebih terbuai pada cover dan lupa pada isi. Kelahiran rasul yang semestinya dimaknai secara mendalam hilang begitu saja. Ya..itulah kenyataannya, sebagian umat muslim hari ini tinggal covernya saja. Kebanyakan kita lupa dengan keteladanan Rasulullah, kepada pelajaran hidup yang telah beliau torehkan didalam sirah perjuangan, tentang bagaimana beliau memaknai hidup dan kehidupan. Inilah hal termahal yang secara sadar telah terlupakan..

Dan.. menjadi tugas kita, untuk mengembalikan semuanya! Dan mengajak umat untuk berfikir lebih subtansif...

In the room of jihad

Banjarbaru,10 april’07…..16.03 wita-….

Berkumpullah bunga selagi bisa

Berkumpullah bunga selagi bisa!

Berkumpullah bunga selagi bisa!

Berkumpullah bunga selagi bisa!

Hmm… inilah kata-kata yang paling saya ingat andaisaja ada yang bertanya apa kesan saya tentang film Dead poeth’s society yang beberapa hari lalu saya saksikan bersama teman ‘lingkaran cita’ saya. Sebuah film yang menceritakan tentang sekelompok anak manusia yang lagi mencari jati dirinya. Film yang yang berusaha menanamkan dan memahamkan tentang hakikat kesejatian hidup, bahwa segalanya terbatas. Film yang mengajak para ‘penikmatnya’ untuk membuka keterbelengguan paradigma pendidikan yang selama ini diartikan terlalu sempit dan menggantinya dengan yang jauh lebih subtansif. Bahwa belajar bukan hanya sekedar aktivitas mendengarkan, menyimak dan menerima pelajaran lalu kemudian mampu menjawab pertanyaan2 yang sifatnya teoritis, Tapi lebih dari itu, belajar adalah mampu menjelajahi dan menemukan hikmah sehingga mampu memecahkan permasalahan hidup dan kehidupan. Belajar bukan sekedar proses formal yang berlangsung didalam ruangan sekian x sekian yang disana terdapat kursi, meja guru, papan tulis dan segala perlengkapannya, Tapi lebih dari itu, pelajaran dapat kita temukan dimana saja, kapan saja dan dari siapa saja. Bahwa belajar adalah sebuah proses menemukan, mmerenungi dan menyimpulkan dari segala apa yang kita dengar, apa yang kita saksikan, bahkan dari apa yang kita rasakan.. bahwa belajar mampu didapat dari segala hal, bahwa belajar adalah proses merenung, menemukan dan mengisi ruang2 kesadaran, lalu kemudian berfikir tentang apa yang harus kita lakukan. Itulah belajar dalam arti sesungguhnya.. Bahwa output dari belajar adalah mampu arif mensikapi diri sendiri dan menempatkannya ditengah manusia lain.

Taukah anda, ada ide gila yang sempat mampir dikepala saya setelah beberapa detik film ini berakhir. Yah, ide gila..demi melihat realita pendidikan yang saya ‘reguk’ selama ini sangat jauh dari subtansi pendidikan itu sendiri..ide itu adalah ”Bagaimana kalau saya berhenti kuliah saja”.. tapi ia langsung melayang begitu saja, bagaikan sutllecock yang terbang bebas dan jatuh entah dimana, yang pasti tidak lagi dikepala saya. He..he..itu mah namanya tidak arif… Bukankah output dari manusia terdidik adalah kearifan???

Ada beberapa hal yang coba saya amati dan renungkan dari tiap gerak dan perkataan sang actor didalam film ini. yang pasti hal ini adalah yang membuat perasaan saya tergugah (barangkali saya sedang melankolis, kata beberapa teman saat membaca kerangka tulisan ini dan mendengarkan sekelumit perasaan saya tentang film ini) dan memaksa jari-jemari saya untuk segera menuliskannya (mungkin juga, karena unsur pemenuhan janji, hampir deadline sih) diantaranya :

a) Hidup bebas dan jiwa yang merdeka

HIDUP BEBAS DAN JIWA YANG MERDEKA.. Teman, pernahkah berteriak sekeras-kerasnya dipantai? Atau berada dipuncak gunung setelah bersusah payah mendakinya? Ato sekedar berlari sekencang-kencangnya dan sejauh-jauhnya sampai akhirnya kelelahan dan ketika menoleh kebelakang ternyata titik awal kita sudah begitu jauh.. Tentu saja jawabannya adalah perasaan puas, menang, suasana hati yang plong dan diliputi syukur. Kerinduan kepada perasaan seperti inilah yang pertama kali ada saat saya menyaksikan film ini. Kebebasan berekspresi yang dibingkai oleh syukur sebagai perwujudan segala cita, rasa dan karya yang Allah titipkan. Saya ingin menjadi pribadi yang merdeka, merdeka dalam pengkaryaan, merdeka dalam perbuatan dan yang paling penting adalah merdeka dalam penghambaan (bukankah musuh utama yang seringkali menjerat kita adalah nafsu). Perasaan merdeka inilah yang menjadikan jalan kita lapang, dihiasi semangat dan diwarnai keberanian. Ada beberapa yang menjadi perhatian saya terhadap sosok Mr. Keating dan 7 orang muridnya,

- Keberanian mengemukakan ide

Tidak semua orang berani dan mampu mengutarakan idenya. Tentu saja ini adalah pekerjaan yang membutuhkan keberanian baik dari sisi fisik maupun mental. Karena bukan tidak mungkin ide kita akan bersebrangan dengan tata yang sudah ada, karena bukan tidak mungkin akan banyak pihak oposisi yang muncul akibat tercetusnya ide kita(entah itu oposisi internal berupa munculnya perasaan ragu, takut, merasa tidak mampu dll maupun oposisi eksternal yang ditimbulkan oleh orang-orang disekitar kita). Hal ini akan menuntut konsekuensi logis terhadap usaha-usaha perubahan yang telah kita lakukan. Yang pasti pekerjaan ini tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang yang berjiwa pengecut dan azzamnya lemah. Saya jadi teringat dengan KAMMI, bukankah KAMMI juga lahir dari rahim keberanian. Keberanian untuk menumbangkan sederet daftar kedzaliman dan ketidak adilan yang sedang menyelimuti indonesia waktu itu...

- Bangga dan berani menjadi orang yang ‘asing’

Menurut saya, hal inilah yang paling mencolok dari Mr keating dan ketujuh muridnya. Betapa mereka mempunyai kebanggan tersendiri menjadi orang asing ditengah semua atmosfer budaya dan tata aturan yang yang seolah memusuhi mereka. Ketika merunut sirah, betapa keterasingan juga menjadi kebanggaan milik para sahabat saat awal islam hadir ditengah kelamnya nuansa jahiliyah pada waktu itu. Atau tentang cerita fenomenal para ashabul kahfi yang terasing didalam gua sekian tahun lamanya.

- Bergerak dengan hati

Bergeraklah dengan hati, karena hati akan selalu jujur mendefinisikan kebenaran. Hati akan selalu mengatakan yang putih itu putih meskipun yang terucap dari lisan adalah hitam. Bergeraklah dengan hati, karena dengan itu kita tak akan pernah kehilangan energi. Beberapa teman dikampus seringkali menanyakan, kenapa sih anak2 mushalla seolah2 ga pernah capek, ada aja kesibukannya, inilah, itulah.. saat itu karna terburu-buru ingin pergi kesuatu tempat akhirnya saya menjawab dengan cukup singkat, ”karna hidup dan perjuangan ini banyak mengajarkan saya bahwa letak tarbiyah itu dihati” Teman saya bengong, sambil tersenyum saya pergi meninggalkan dia. Tapi kemudian lama saya merenungi jawaban yang meluncur tak sengaja itu, ya, semestinya tarbiyah itu dihati.. he..he.. jawaban yang cukup bagus, setidaknya menurut saya.

b) Merdeka yang cerdas

Bebas bukan berarti tidak punya frame yang jelas. Melakukan sesuatu tanpa berfikir dan tidak punya strategi adalah suatu kebodohan. Bukankah orang yang sukses adalah orang yang punya perencanaan matang, strategi pemenangan yang brilian, serta mampu mengukur kekuatan diri dan rivalnya

c) Mencoba memandang dari arah yang berbeda

Disebuah forum sekolah politik KAMMI sekitar setengah tahun yang lalu, salah seorang rekan saya mengatakan ”jika kita memandang sesuatu hanya dari satu labirin, maka kita akan terjebak hanya pada labirin itu itu saja, tapi ketika kita mencoba memandang segalanya dari atas, maka kamu akan melihat betapa banyak labirin yang ada disana”. Jika saya mencoba berasumsi, mungkin inilah yang berusaha dilakukan Mr. Keating dengan naik dan mengajak para muridnya satu-persatu berdiri diatas meja, dia mengatakan ”Kau akan melihat sesuatu yang berbeda dari atas sini”. Proses penyadaran yang berusaha ditanamkan dengan cara yang indah dan menggugah untuk melepaskan diri dari sebuah keterkungkungan dogma2 yang berkembang secara pragmatis.

d) Pemaknaan yang jauh/luas terhadap sesuatu, tidak sempit

Mungkin agak mirip dengan poin sebelumnya, tapi saya ingin sedikit mengamati dari peristiwa yang berbeda. Masih ingat dengan pertanyaan dan jawaban Mr.Keating yang dilontarkannya kepada muridnya? Saya mencoba mengutip, semoga saja benar...

Kasus pertama : saat Mr. Keating meminta salah satu muridnya membacakan puisi

Murid : ... Berkumpullah bunga selagi bisa

Mr Keating : Kira2 apa penyebab penulis menuliskan bait puisinya seperti itu, apa maksudnya?

Murid : raihlah kesempatan !

Mr. Keating : karena suatu saat kita akan menjadi makanan cacing

Kasus kedua,

Mr. Keating : Apa guna kata-kata?

Murid : Untuk berkomunikasi

Mr. Keating : Untuk membuat para wanita pingsan.

Inilah yang menurut saya berfikir jauh kedepan, ada tujuan yang senantiasa memompakan energi, bahwa kita harus melakukan sesuatu. Karena suatu saat kita akan menjadi makanan cacing, mestinya konsep ini sangat dikuasai oleh kaum muslim..konsep tentang kefanaan hidup, konsep tentang bekerja untuk suatu keabadian, konsep tentang ‘perniagaan yang menguntungkan’ dsb. Pandangan seorang muslim tidak semestinya sempit, karena sungguh terminal akhir kehidupan ini sudah Allah gambarkan dengan sangat jelas.

e) Konsep amal jama’i dan kebersamaan

Kebersamaan itu menguatkan. Hal ini sangat saya rasakan diawal2 bergabung dengan Forum study islam dikampus saya, waktu itu diangkatan saya hanya ada 2 orang akhwat dan tidak ada satupun ikhwan. Betapa saya merasa lebih solid dan kuat sekarang, karna sudah ada 8 akhwat walaupun ikhwannya Cuma satu. Amal jama’i menjadi suatu yang mutlak, karena manusia itu terbatas, sementara islam itu sempurna, Intinya saling menambal kekurangan. Masing2 kita juga pasti telah memetik pelajaran tentang sejarah perang badar dan keharuan uhud. Ketika menilik dari sisi amal jama’i dan kebersamaan, betapa Allah telah menggambarkan secara jelas lemahnya kaum muslimin dimedan uhud, karena ada beberapa pasukan yang tidak tha’at pada kesepakatan. Begitu juga yang saya tangkap dari film ini.

f) Misi bisa berbeda-beda tapi tujuan akhirnya sama

Mungkin sebagian kita juga memperhatikan fenomena ini. Mr Keating memerintahkan kepada murid2nya untuk merobek sub bab puisi dari sebuah buku cetak. Yang menjadi perhatian saya adalah seni merobek kertas yang diperlihatkan masing-masing murid (ada yang dengan kasar, ada yang asal, ada yang begitu berhati-hati, tapi intinya adalah merobek bab puisi pada buku). Atau kasus lainnya adalah ketika Mr. Keating memberikan pelajaran diluar kelas dengan meminta kepada 3 orang muridnya untuk berjalan bersama (tanpa ada syarat misalnya harus kaki kanan duluan), kemudian tanpa terasa langkah2 itu menjadi seirama dan murid2 yang lain mengikutinya dengan bertepuk tangan. Artinya masing-masing orang punya potensi yang beda, sudut pandang yang beda terhadap suatu hal.. tak masalah memulai dari yang mana dan dengan cara seperti apa, karena yang semestinya menjadi urgen bagi kita adalah bagaimana mensinergiskan semuanya agar bisa berkembang secara baik, optimal dan sejalan serta... saling mendukung. Agar kedepan ritme2 perjuangan itu menjadi seirama langkahnya. Intinya saling menghormati, memahami dan saling mengisi.

f) Mengajarkan bahwa putus asa bukanlah hal yang tepat

Ujian adalah sebuah keniscayaan yang ada dalam perjuangan. hidup juga seperti itu, karena sebenarnya hidup sendiri adalah sebuah tantangan. Yang pasti menurut saya film ini kurang baik dalam mengemas penyelesaian. Ketika berbicara ini dari sudut pandang seorang muslim, tentusaja penyelesaiannya akan berbeda. Seorang muslim harus senantiasa optimis, yakin serta gigih dalam perjuangannya. Besarnya harap seorang muslim akan mengantarkannya pada keadaan yang tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Inna ma’al ’usri yusraa, wa inna ma’al usri yusraa...

g) Kemampuan menanamkan pengaruh kepercayaan kepada orang lain

Inilah yang dilakukan seorang Mr. Keating pada muridnya. Kemampuan yang semestinya harus kita miliki sebagai da’i. Menanamkan pengaruh kepada objek da’wah, kepada masyarakat kita dengan membawa nilai2 kebenaran islam

h) Regenerasi

shiez the day! Karena hakikat hidup itu sendiri adalah keterbatasan.. Menurut saya, Mr. Keating telah melakukan pemaknaan yang panjang terhadap kata2 diatas. Mr. Kearting tidak mau menyimpan kebenaran itu sendirian, karena ia sangat faham suatu saat akan tiba masa dimana ia tak dapat lagi mengemukakan idenya, ia sangat faham bahwa nanti jatah waktu yang dimilikinya untuk memompakan energi ditubuh generasi pembaharu akan mencapai titik limit.. Maka pilihan terbaik adalah meregenerasi diri dan mimpi, melakukan transformasi2 pemikiran, bahwa kedepan nilai2 kebenaran yang ia bawa harus tetap diperjuangkan. Sehingga ia dapat pergi tanpa penyesalan yang panjang, karna kalaupun tidak tercapai, setidaknya ia telah berusaha mengupayakan.

Yah..seperti itulah seharusnya pemuda, Punya idealisme, cerdas, kritis, mempunyai keberanian dan jiwa rela berkorban yang besar.

Saya jadi berfikir, seandainya yang buat film ini adalah ikhwah, pasti hikmah yang bisa kita ambil bisa jauh lebih besar. Iseng ’memory’ saya mereview cita-cita yang sempat tercetus di gank kami akhwat2’03 tepat satu tahun yang lalu, betapa kami sempat berbagi peran saking semangatnya.. Tapi tidak terlalu menjadi masalah kalau ternyata hari ini film yang saya saksikan bukan karya seorang muslim. Toh, pada prinsipnya darimanapun ia berasal, hikmah adalah milik umat islam yang tercecer, ia adalah milikku, milikmu, milik kita yang ’karam’!

Oleh karena itu....

BERKUMPULLAH BUNGA SELAGI BISA!!!

Dan....Berjalanlah dengan identitas kita, MUSLIM!

In the room of jihad, 23.47wita -…

Banjarbaru, 12 maret’07

AKTUALISASI PERAN WANITA DI ETALASE PUBLIK

Emansipasi wanita, inilah kata yang langsung terekam ketika publik berbicara tentang peran dan pemberdayaan wanita dalam kancah perjuangan dan perbaikan bangsa. Dimana penyamarataan hak dalam pengkaryaan dan pengapresiasian diri tak lagi memandang gender. Menjadi hal yang wajar jika hal ini dilatar belakangi oleh suatu tekad yang kuat untuk membuktikan pameo bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah itu tidak selamanya benar sehingga pada akhirnya mampu membebaskan para wanita dari keterpasungan paradigma yang secara perlahan menyuntik mati potensi kaum wanita.

Tentunya kenyataan sejarah tidak bisa membohongi kita, bagaimana ternyata keterlibatan para perempuan mampu berkontribusi positif bagi perbaikan kondisi bangsa. Perjalanan bangsa ini juga telah mencatat betapa perjuangan para wanita ‘hebat’ masa lalu juga menjadi warisan sejarah yang tak ternilai harganya untuk generasi hari ini. Sebutlah seorang tokoh wanita Indonesia ternama R.A Kartini yang dengan tekad baja dan semangat zamannya berusaha menuntut keadilan dan pemerataan kualitas pendidikan bagi kaum perempuan kala itu. Kekritisan dan ketidakpuasan akan apa yang seharusnya ia dapatkan membawanya pada kesadaran dari kekeliruan berfikir bahwa ruang pengkaryaan wanita hanya terbatas didalam tembok rumah mereka saja. Tapi harus lebih dari itu, angin kesadaran itu ternyata mampu menggerakkan raga serta memompakan kekuatan dalam fikirannya untuk melahirkan ide-ide cerdas bahwa sudah saatnya wanitapun harus mengenyam pendidikan yang layak, karena amanah negri yang diembankan pada kaum wanita juga tidak kalah besar, melahirkan generasi-generasi terdidik. Semangat perubahan ini jugalah yang akhirnya mampu mengharumkan namanya dengan sebuah karya fenomenal “Habis Gelap, terbitlah Terang”. Hampir serupa dengan perjuangan Raden dewi sartika dengan sekolah wanita pribuminya. Sejak 1902, Raden Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum wanita ketika itu. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.

Dengan segala keterbatasan saat itu, apa yang telah dirintis Raden Dewi Sartika jelas merupakan bukti nyata perjuangan emansipasi wanita. Sekolah yang didirikan Dewi Sartika menjadi mutiara yang kemilaunya terus menjadi inspirasi bagi berkobarnya spirit memajukan pendidikan kaum perempuan yang diilhami dari semangat perjuangan R.A Kartini.

Tentunya, tak hanya dua tokoh wanita ini saja yang mampu kita jadikan rujukan sebagai motivator untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki kaum perempuan. Kita juga tentu tidak asing lagi dengan sosok pahlawan-pahlawan wanita Aceh, sebutlah saja Cut Nyak Dien atau Cut Nyak Meutia. Kedua wanita Aceh ini dinobatkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional yang tetap memegang prinsip dan tak mau tunduk begitu saja kepada para penjajah. Medan pertempuran telah membesarkan jiwa mereka, hingga kemudian perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah yang dilandasi oleh kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi selanjutnya.

"BANGSA yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya". Demikian adagium yang kerap kita dengar. Akan tetapi, sudah paralelkah adagium itu dengan itikad dan upaya kita untuk benar-benar melaksanakannya dalam keseharian? Para pejuang wanita diatas adalah potret nyata dari kealpaan kita untuk menempatkan seseorang dalam penghormatan yang proporsional dan selayaknya dengan sumbangsih yang telah mereka persembahkan. Betapa, perjalanan setiap zaman senantiasa meninggalkan cerita yang tak kalah hebatnya tentang perjuangan seorang wanita.

Peran Kaum Wanita Hari Ini

Secara kuantitatif, penduduk Indonesia bahkan dunia didominasi oleh wanita. Hal ini mau tidak mau menuntut peran serta wanita untuk juga turut bermain diranah-ranah kehidupan yang lainnya, baik itu sosial, budaya, politik bahkan Hankam. Saat ini para wanita dituntut tidak hanya baik dan tuntas ketika menyelesaikan urusannya di’dalam rumah’, tapi lebih dari itu para wanita juga di tuntut untuk berkreasi secara optimal diluar rumah, untuk berkontribusi riil dalam perbaikan kondisi bangsa dengan tetap menghormati dan menjaga ‘frame’nya sebagai seorang wanita. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para wanita dalam mengarungi perjuangannya, diantaranya :

1. Para wanita harus senantiasa konsisten dan optimis dengan nilai-nilai perjuangan dan idealisme yang diusungnya.

2. Perjuangan para wanita juga harus senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai kefahaman, moralitas dan kemengertian tentang hakikat dirinya sebagai elemen sebuah bangsa, sebagai salah satu bagian terpenting dari sebuah rumah tangga dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.

3. Mengoptimalkan dan menggali segala potensi terpendam yang mampu dijadikan modal sebagai bahan dasar perbaikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Perjuangan panjang yang dilakukan para wanita hari ini adalah sebuah wujud mengokohkan eksistensi para wanita dimasa depan. Panjangnya perjuangan, besarnya pengorbanan dan dinamika politik etis yang bergulir membersamai bertambahnya usia negri Indonesia telah membuat kenyataan hari ini berbicara lain. Kini ruang-ruang publik sangat terbuka lebar bagi para wanita untuk menyemai kreativitas dan pengkaryaan bagi dirinya. Bahwa keterlibatan peran, setting kebijakan serta sentuhan kreativitas dan ide-ide cemerlang dari para wanita sangat dibutuhkan untuk merancang ulang peradaban negri ini agar bisa lebih baik lagi... Ditunggu, pahlawan wanita zaman ini!

Disfungsional Sedang Terjadi Di Tubuh ABRI

”Sampai saat ini tindakan tegas dari polri dan kejaksaan terhadap the leader of coruptor Soeharto belum terealisasi secara baik, proses hukuman ditunda lantaran kondisi Soeharto yang konon sedang tidak fit”

”Disebuah media lokal diberitakan bahwa telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap beberapa wartawan, bahkan polri pernah tercatat menempati posisi ketiga sebagai pelaku kekerasan pada wartawan”

Akhir-akhir ini Polri kembali tersudutkan oleh opini-opini negativ yang timbul akibat tindakannya di lapangan. Kedua kasus diatas adalah suatu contoh sekaligus dua fenomena yang sangat bertolak belakang, dan sampai saat ini masih sering terjadi, aplikasi dari fungsi tidak sesuai pada tempatnya. Bahkan seringkali terjadi ketidaksesuaian antara besar kesalahan dengan ganjaran yang diberikan. Tak jarang terjadi pengaduan kepada Komnasham lantaran banyaknya tindakan-tindakan aparat polisi yang tidak sesuai fungsi dan harapan masyarakat, serta agak berlebihan dalam mengambil suatu keputusan yang dianalogikan dalam rangka ’pengamanan’ sebuah negara. Suatu hal fundamental yang semestinya menjadi perhatian kita adalah mengembalikan fungsi dan peran Polri sebagaimana yang seharusnya.

Dalam pandangan masyarakat, secara sederhana aparat kepolisian mempunyai dua fungsi yang sangat mendasar yaitu sebagai penegak hukum (law enforcement) penyelesaian masalah (problem solver / conflict management). Harapannya, kedua fungsi ini bisa berjalan secara proporsional & professional. Jika merujuk pada fungsi dari kepolisian sendiri maka ada dua sosok yang jika kita cermati terlihat agak berbeda namun sejalan. Sebagai penegak hukum, sosok polisi yang diharapkan masyarakat adalah sosok polisi yang berani serta memiliki ketegasan dalam melaksanakan tugas. Sehingga tergambar bahwa polisi adalah sosok yang harus ditakuti oleh masyarakat. Namun pada fungsinya yang lain, polisi diharapkan menjadi sosok yang mampu mengayomi, sabar, pandai menghargai serta ramah pada masyarakat. Sehingga polisi menjadi ”sosok pelindung” hak kebebasan dan persamaan sesuai yang diharapkan masyarakat. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dan fikiran tanpa mengganggu kebebasan orang lain. Serta hak untuk mendapat perlakuan serta perlindungan hukum yang sama tanpa memandang perbedaan-perbedaan diantaranya status dan kedudukan. Dalam hal ini, polisi hendaknya mampu bersikap adil, tegas serta mampu membaca kondisi dan keadaan saat mengambil tindakan dalam mengelola suatu kasus. Inilah faktor terpenting yang semestinya dimiliki oleh para aparat kepolisian, kecerdasan intelektual dan intra personal yang mampu serta mau melakukan studi tentang masalah-masalah warga yang terjadi dalam suatu komunitas dimana ia bertugas., pemahaman yang mampu mencakup tentang pola masyarakat Indonesia secara luas yang berakar pada realitas serta kebudayaan – kebudayaan yang berkembang sesuai dengan konflik yang dihadapi dilapangan.

Namun pada tataran taktis seringkali terjadi ketidak seimbangan fungsi ditubuh Polri. Opini yang beredar, ketika menjejaki kasus dimasyarakat bawah dan menengah maka fungsi Polri sebagai penegak hukum menjadi sangat overload, bahkan tak jarang muncul beberapa tindak kekerasan. Sementara ketika berhadapan dengan para ’petinggi’ negara maka seolah-olah eksistensi Polri dalam penegakan hukum hilang entah kemana. Fenomena ini merupakan suatu indikasi bahwa keberadaan Polri belum optimal secara fungsional, Profesional dan Proporsional. Disadari ataupun tidak, hal ini juga berdampak pada trust masyarakat terhadap Polri. Karna sosok yang semestinya mempunyai tugas pokok sebagai pelindung, penganyom, pelayan dan penegak hukum di negara dan masyarakat justru menjadi tersangka pelanggaran itu sendiri.

Apresiasi tugas poko Polri adalah to protect and to serve (melindungi dan melayani). Secara lebih mendetail adalah love humanity, help delinquence and keep them out of jail (cinta kasih, membasmi penyimpangan dan menjauhkan setiap orang dari penjara). Berangkat dari itu maka Polri semestinya mengusung TTKR (tata tentram karta raharja) yang berarti tugas Polri menciptakan masyarakat yang sejahtera. Ini semua dapat terwujud jika semua aktivitas masyarakat dan negara bisa berjalan baik yang diaplikasikan dengan adanya kepastian hukum.*

Sementara John Hall juga mengatakan bahwa “Polisi adalah etalase pemerintah”. Kondisi masyarakat dan pemerintah akan memantul dari apa yang terlihat dalam kerja kepolisiannya.

Oleh karena itu, Polisi sebagai pelindung serta penegak hokum dimasyarakat juga semestinya lebih didominasi oleh kecerdasan moralitas, sehingga hal itu juga akan membentuk moralitas masyarakat dan negara secara riil dan konkrit.

Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk perbaikan ditubuh Polri dalam memainkan perannya, antara lain :

  1. Polri harus mempersiapkan generasi yang matang secara visi dan mampu melakukan introspeksi terhadap kesalahan yang terjadi di tubuh Polri
  2. Polri mau dan mampu memahami kompleksitas dan keberagaman masyarakan Indonesia
  3. Meningkatkan serta mengoptimalkan fungsi, profesionalisme dan proporsionalisme dalam tubuh Polri

Selain itu, yang paling penting adalah bagaimana agar terjalin pola hubungan serta komunikasi yang harmonis antara para aparat kepolisian dengan masyarakat. Karena tanpa itu semua, sebenarnya kita juga sedang bertindak tidak adil terhadap para penegak hukum tersebut.

*)dikutip dari tulisan Anton tabah

Banjarbaru, 23 maret 2007--14.00 – 15.20 wita
Ditengah tumpukan aktivitas yang juga menunggu deadline
Mencoba merajut ghirah, meski payah...