Monday, May 28, 2007

Disfungsional Sedang Terjadi Di Tubuh ABRI

”Sampai saat ini tindakan tegas dari polri dan kejaksaan terhadap the leader of coruptor Soeharto belum terealisasi secara baik, proses hukuman ditunda lantaran kondisi Soeharto yang konon sedang tidak fit”

”Disebuah media lokal diberitakan bahwa telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap beberapa wartawan, bahkan polri pernah tercatat menempati posisi ketiga sebagai pelaku kekerasan pada wartawan”

Akhir-akhir ini Polri kembali tersudutkan oleh opini-opini negativ yang timbul akibat tindakannya di lapangan. Kedua kasus diatas adalah suatu contoh sekaligus dua fenomena yang sangat bertolak belakang, dan sampai saat ini masih sering terjadi, aplikasi dari fungsi tidak sesuai pada tempatnya. Bahkan seringkali terjadi ketidaksesuaian antara besar kesalahan dengan ganjaran yang diberikan. Tak jarang terjadi pengaduan kepada Komnasham lantaran banyaknya tindakan-tindakan aparat polisi yang tidak sesuai fungsi dan harapan masyarakat, serta agak berlebihan dalam mengambil suatu keputusan yang dianalogikan dalam rangka ’pengamanan’ sebuah negara. Suatu hal fundamental yang semestinya menjadi perhatian kita adalah mengembalikan fungsi dan peran Polri sebagaimana yang seharusnya.

Dalam pandangan masyarakat, secara sederhana aparat kepolisian mempunyai dua fungsi yang sangat mendasar yaitu sebagai penegak hukum (law enforcement) penyelesaian masalah (problem solver / conflict management). Harapannya, kedua fungsi ini bisa berjalan secara proporsional & professional. Jika merujuk pada fungsi dari kepolisian sendiri maka ada dua sosok yang jika kita cermati terlihat agak berbeda namun sejalan. Sebagai penegak hukum, sosok polisi yang diharapkan masyarakat adalah sosok polisi yang berani serta memiliki ketegasan dalam melaksanakan tugas. Sehingga tergambar bahwa polisi adalah sosok yang harus ditakuti oleh masyarakat. Namun pada fungsinya yang lain, polisi diharapkan menjadi sosok yang mampu mengayomi, sabar, pandai menghargai serta ramah pada masyarakat. Sehingga polisi menjadi ”sosok pelindung” hak kebebasan dan persamaan sesuai yang diharapkan masyarakat. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dan fikiran tanpa mengganggu kebebasan orang lain. Serta hak untuk mendapat perlakuan serta perlindungan hukum yang sama tanpa memandang perbedaan-perbedaan diantaranya status dan kedudukan. Dalam hal ini, polisi hendaknya mampu bersikap adil, tegas serta mampu membaca kondisi dan keadaan saat mengambil tindakan dalam mengelola suatu kasus. Inilah faktor terpenting yang semestinya dimiliki oleh para aparat kepolisian, kecerdasan intelektual dan intra personal yang mampu serta mau melakukan studi tentang masalah-masalah warga yang terjadi dalam suatu komunitas dimana ia bertugas., pemahaman yang mampu mencakup tentang pola masyarakat Indonesia secara luas yang berakar pada realitas serta kebudayaan – kebudayaan yang berkembang sesuai dengan konflik yang dihadapi dilapangan.

Namun pada tataran taktis seringkali terjadi ketidak seimbangan fungsi ditubuh Polri. Opini yang beredar, ketika menjejaki kasus dimasyarakat bawah dan menengah maka fungsi Polri sebagai penegak hukum menjadi sangat overload, bahkan tak jarang muncul beberapa tindak kekerasan. Sementara ketika berhadapan dengan para ’petinggi’ negara maka seolah-olah eksistensi Polri dalam penegakan hukum hilang entah kemana. Fenomena ini merupakan suatu indikasi bahwa keberadaan Polri belum optimal secara fungsional, Profesional dan Proporsional. Disadari ataupun tidak, hal ini juga berdampak pada trust masyarakat terhadap Polri. Karna sosok yang semestinya mempunyai tugas pokok sebagai pelindung, penganyom, pelayan dan penegak hukum di negara dan masyarakat justru menjadi tersangka pelanggaran itu sendiri.

Apresiasi tugas poko Polri adalah to protect and to serve (melindungi dan melayani). Secara lebih mendetail adalah love humanity, help delinquence and keep them out of jail (cinta kasih, membasmi penyimpangan dan menjauhkan setiap orang dari penjara). Berangkat dari itu maka Polri semestinya mengusung TTKR (tata tentram karta raharja) yang berarti tugas Polri menciptakan masyarakat yang sejahtera. Ini semua dapat terwujud jika semua aktivitas masyarakat dan negara bisa berjalan baik yang diaplikasikan dengan adanya kepastian hukum.*

Sementara John Hall juga mengatakan bahwa “Polisi adalah etalase pemerintah”. Kondisi masyarakat dan pemerintah akan memantul dari apa yang terlihat dalam kerja kepolisiannya.

Oleh karena itu, Polisi sebagai pelindung serta penegak hokum dimasyarakat juga semestinya lebih didominasi oleh kecerdasan moralitas, sehingga hal itu juga akan membentuk moralitas masyarakat dan negara secara riil dan konkrit.

Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk perbaikan ditubuh Polri dalam memainkan perannya, antara lain :

  1. Polri harus mempersiapkan generasi yang matang secara visi dan mampu melakukan introspeksi terhadap kesalahan yang terjadi di tubuh Polri
  2. Polri mau dan mampu memahami kompleksitas dan keberagaman masyarakan Indonesia
  3. Meningkatkan serta mengoptimalkan fungsi, profesionalisme dan proporsionalisme dalam tubuh Polri

Selain itu, yang paling penting adalah bagaimana agar terjalin pola hubungan serta komunikasi yang harmonis antara para aparat kepolisian dengan masyarakat. Karena tanpa itu semua, sebenarnya kita juga sedang bertindak tidak adil terhadap para penegak hukum tersebut.

*)dikutip dari tulisan Anton tabah

Banjarbaru, 23 maret 2007--14.00 – 15.20 wita
Ditengah tumpukan aktivitas yang juga menunggu deadline
Mencoba merajut ghirah, meski payah...


No comments: