Thursday, March 24, 2011

Inspiring story (3) : The Heroes of Fukushima

VIVAnews - Pesan menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Bunyinya: "Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati."

Sekitar 200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut 'Fukushima Fifty' berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri menjadi empatshift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan nyawa mereka.

Mereka bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika, atau paling tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun mendatang. Para ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para pekerja hanya bisa mencegah sedikit kontaminasi.

Grup pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700 rekan mereka lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level yang sangat berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli menduga mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran yang tahu persis kondisi PLTN.

Diduga kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan sadar memilih jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang lebih muda terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.

Satu televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat pekerja Fukushima . "Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia mengatakan, menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati," kata dia seperti dimuat Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.

Yang lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi sukarelawan dan memilih tetap tinggal di Fukushima . "Aku dengar dia merelakan diri meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun. Mendengar itu, aku menangis." Padahal, katanya lagi, "Di rumah, Ayah tidak seperti sosok lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan penting. Tapi hari ini aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa kembali dengan selamat."

Salah satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar ayahnya di Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis: "Orang-orang di reaktor sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk melindungi kita semua," kata dia. "Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."

Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.

Salah seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku bertugas saat reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan pengalamannya di Internet. "Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa melihat apa yang terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari bahwa itu bisa berarti mati."

Diceritakan dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut hancur diterjang tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk memperbaikinya. "Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja."

Di tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia menambahkan, para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan perasaan pribadi mereka dan terus bekerja.

Dr. Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada jaringan televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari terakhir ini. "Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor nuklir, mungkin seperti sedang menjalankan misi bunuh diri."

Michael Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis reaktor nuklir serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja, para pekerja itu boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan minum air dingin untuk bertahan hidup.

"Suasana pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan tak akan mencemari diri sendiri saat makan," kata dia. "Saya memastikan 100 persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima benar-benar berkomitmen untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun dengan risiko nyawa."

Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang bagian timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.

Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. (kd)• VIVAnews

diambil dari http://danangap7.multiply.com

Monday, March 21, 2011

A hand to hold (4) : ‘Aku hanya ingin makan bakso’

Cerita inipun masih erat kaitannya dengan kertas mimpi. Hampir disemua kelas yang aku masuki, aku selalu bercerita tentang kekuatan keyakinan, mimpi dan cita-cita, kemudian meminta semua murid dikelas tersebut untuk menuliskan cita-citanya pasca itu. Karena aku yakin siswa yang belajar dan bekerja dengan dorongan mimpi hasilnya pasti akan jauh lebih optimal daripada siswa pintar yang belajar hanya sekedar menekuni rutinitas harian..

Dari sekian banyak kertas mimpi yang ada, ada 1 kertas yang cukup membuatku terharu.. yang belakangan melalui tes tertulis yang sengaja ku buat, kuketahui kertas itu milik seorang murid laki-laki yang duduk dipojok kanan depan ( sebut saja namanya A), tepat di dekat meja guru. Diantara 4 mimpi yang ia tuliskan dikertas itu, salahsatunya berbunyi ‘jika semua mimpiku tidak terwujud, minimal Aku hanya ingin makan bakso bu’

Bagiku sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang guru ketika ia mampu membantu mewujudkan mimpi dan cita-cita muridnya. Aku memang bukanlah seorang guru, tapi bukankah saat ini aku sedang belajar menjadi guru. Meskipun aku sangat tidak menyukai bakso (karena kandungannya yang tidak sehat), tapi kali ini tak apalah..Aku ingin membahagiakan A dan memenuhi salah satu mimpinya.

Menjelang pelajaranku berakhir, kuminta ia untuk menemuiku sepulang sekolah. Aku ingin mengajaknya ke suatu tempat hari itu dan memintanya untuk tidak langsung pulang.

Ketika bel terakhir berbunyi, benar saja, A menemuiku diperpustakaan sekolah. Menyambut kedatangannya aku tersenyum, ‘kau sudah siap?’ Kataku sambil bergegas mengemasi barang-barang yang aku bawa. Sekilas ku lihat A mengangguk, ‘Ada apa Gerang bu? kita mau kemana?’ ia nampak penasaran.

‘lihat saja nanti, pokoknya kau ikut saja dulu’ jawabku. Aku berharap ini menjadi kejutan buatnya.

Aku mengendarai motor dengan pelan tidak sampai 20 km/jam, menyeimbangkan kecepatannya agar A tidak terlalu kepayahan menggotak sepedanya. Karena A naik sepeda.

Sekitar 15 menit diperjalanan akhirnya aku dan A sampai juga, di sebuah rumah makan, istana bakso matadewa. Aku segera masuk, sementara A nampak bingung, ia terlihat takjub beberapa saat. Aku berbalik, sambil tersenyum ku panggil ia ‘ Hei A, kenapa diam aja..Ayo masuk, kamu mau berdiri diluar terus?’ kataku. Masih dalam ketakjuban yang sama A mengangguk kemudian melangkah masuk.

‘Kau mau pesan apa? Mau yang pentolnya besar?’ tanyaku, A nampak malu. ‘Ayolah pesan aja, katamu kau mau makan bakso kan? Mumpung nih kaka lagi gajian di kantor’ Aku terus berceloteh..Akhirnya ia memesan juga, kulihat matanya tiba-tiba berkaca-kaca..’Hei, kau anak laki-laki, pantang untuk menangis’ Aku berkata sambil tersenyum..’kalau kaka baru boleh menangis, karena kaka perempuan’ aku tergelak, menyaring alasanku yang sama sekali tidak rasional..A juga ikut tertawa, ia semakin geli ketika kerudung dan baju putih seragam PPL ku tak sengaja terkena saos, padahal aku sama sekali tidak berniat menuangnya karena selera baksoku tak seperti orang kebanyakan, tanpa saos dan kecap manis..

Siang itu, kami makan bakso bersama..kulihat A begitu lahap, ia sangat menikmati bakso pertamanya itu. Dari ceritanya akhirnya aku tau kalau A sudah punya impian makan bakso sejak lama, sejak 4 tahun lalu, waktu ia kelas 6 SD. Saat itu seorang temannya makan bakso bersama ibunya ketika pulang sekolah, A melihatnya. Ia berharap juga bisa makan bakso dengan ibunya, tapi itu tak akan pernah terjadi karena ibunya telah meninggal dunia disaat A duduk di kelas 2 SD. Ayahnya sendiri tinggal bersama seorang adik dan 3 orang kakaknya di daerah pinggir.

Saat ini A tinggal bersama tantenya sambil membantu sedikit pekerjaan rumah, Tantenya yang membiayai sekolah A. sebenarnya A sendiri telah berupaya beberapa kali menabung untuk membeli bakso, tapi niatnya itu selalu terhalang. Dari ceritanya, pernah suatu kali A merasa tabungannya sudah cukup bahkan lebih, ia ingin mengajak teman karibnya untuk membeli bakso bersama, A yang traktir. Tapi tanpa diduga uang buku yang harus ditebusnya hilang, dan akhirnya uang untuk beli bakso ia gantikan untuk membayar buku.. ’ulun takut dimarahi tante’ katanya.

Hari itu kulihat A sangat bahagia, begitu juga denganku. Aku memintanya pulang dengan membawa 2 porsi bakso lagi..’makasih banyak bu lah’ kata A sembari mengucap salam. ‘Ya hati2 ya’ jawabku. Begitu sepedanya hendak berjalan, Aku menahannya. ‘A tunggu sebentar’ ucapku mencoba menahan A. ia menoleh sambil menyetop jalan sepedanya ‘ kenapa bu?’ katanya..

Aku tersenyum..’Kau menulis 4 impian kan dikertas mimpimu..sekarang mimpimu makan bakso sudah terwujud, Kau harus wujudkan yang lainnya. Ingat Allah itu Maha baik, selalu memberi kita kejutan dengan cara yang tidak pernah kita duga. Kau harus semangat’ ucapku. A mengangguk ‘ InsyaAllah bu’ jawabnya. Hari itu entah kenapa tiba-tiba Aku merasa sungguh bahagia…

‘bantulah orang lain untuk mewujudkan mimpinya, maka Allah akan membantumu untuk mewujudkan mimpi-mimpimu’


-Memory ‘pojok’ sekolah-
Mengenang A, siswa laki2 kurus tinggi
Yang awalnya tak pernah terperhatikan olehku..

Saturday, March 19, 2011

A hand to hold (3) : Elin Ingin Jadi Penulis

Elin, begitu ia dipanggil teman-temannya. Aku tidak ingat persis siapa nama panjangnya, yang pasti ia adalah pemimpin dari grup 5 cewek gaul dikelas itu. ada satu yang khas dari dirinya..caranya memakai kerudung. Entah apa sebabya, ia selalu mengangkat bagian belakang kerudungnya kearah depan, dan memperlihatkan rambut rebonding sepundaknya.

Selama 3 minggu aku akan rutin memasuki kelasnya, guru pengasuh mapel matematika akan melangsungkan walimatul ursy dan meminta mahasiswa PPL untuk menggantikannya selama itu, Aku sendiri kebagian kelas XI dan XII khusus jurusan IPA. Sebelum masuk ke kelas ‘Elin’ guru pamong telah mewanti-wantiku, agar aku bersikap cuek dan tidak menghiraukan apapun kelakuannya, mengingat 2 hari lalu ada mahasiswa bahasa yang sempat dibuat menangis karena ‘perang dingin’ dengan elin.

Pertemuan pertama dikelas itu, aku merasa kelas itu cukup istimewa untuk ukuran sekolah PGRI. Sebagian besar siswa cukup mudah diatur, meskipun penjelasan harus diulang beberapa kali. Terkecuali 5 orang, Elin dan ganknya. 3 orang temannya masih terlihat kurang nyaman, mereka mencatat seadanya. Berbeda dengan Elin, Ia dan satu lagi temannya keluar masuk tanpa izin denganku, bahkan pertanyaanku tak pernah ia jawab. Waktu itu rasanya, Aku sangat kesal.

Agar tidak boring, seperti biasanya ditengah pelajaran berlangsung aku menyelipkan beberapa cerita, pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, tentunya yang ‘nyambung’ dengan karakteristik siswa dikelas itu. Hari itu kami berbincang tentang cita-cita dan pentingnya punya cita-cita. Setelah berbicang panjang lebar, aku meminta beberapa siswa untuk mengatakan cita-citanya pada teman sekelasnya.

Termasuk pada Elin…’Elin bagaimana denganmu, Apa cita-citamu?’ Ia mendongak, seolah tak mau tau tentang apa yang kami perbincangkan beberapa menit lalu dikelas. Aku mengulangi pertanyaanku. ‘Elin, kau punya cita-cita apa? Katakan dan bagilah pada teman sekelasmu’…’Mati bu’ jawab Elin singkat. Siswa yang lain menatapku lekat, seolah menahan rasa tak enak.

‘wah…itu cita-cita yang hebat dan unik’ kataku…’kaka saja tidak pernah berani bercita-cita untuk mati, karena kaka yakin orang mati tidak akan bisa melakukan apapun kecuali menunggu, apakah ia diberi kenikmatan dan dimasukkan ke syurga atau justru dapat siksaan, berbeda dengan orang hidup. Orang hidup bisa berbuat banyak, orang hidup bisa membahagiakan orang-orang yang ia sayangi, orang hidup bisa berupaya sekuat tenaga mewujudkan mimpinya ’ Aku menambahkan. Aku focus pada Elin, ia tak bergeming, seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

“Kalau kaka cita-citanya selain jadi Guru, juga pengen jadi peneliti sekaligus penulis..karena kaka yakin kalau mati nanti penulis bisa meninggalkan banyak hal untuk orang-orang yang ia tinggalkan, minimal ide dan gagasan yang ia bangun lewat tulisannya. sama seperti manusia lainnya, seorang penulis suatu saat nanti pasti akan mati, tapi tidak dengan karya dan tulisannya” Aku tetap melanjutkan, berharap ia mendengar. Meskipun Elin tetap menunjukkan sikap acuh tak acuh.

Hari itu, Aku tutup pelajaran dan menjanjikan pertemuan selanjutnya kami tidak akan belajar matematika, tapi kami akan menonton video yang akan ku bawa di laboratorium IPA, disana ada screen yang cukup besar, meskipun ya tetap kalah kalau dibandingkan screen di bioskop.

***

Hari itu akhirnya datang juga, pertemuan kedua yang kujanjikan..Aku meminjam LCD dari luar, kami semua menuju lab IPA di dekat ruang guru..video pembuat jejak-nya danang A prabowo dan beberapa video motivasi lain Aku putarkan. Kembali kami bercerita kekuatan atau sugesti mimpi dan cita-cita. Menurutku ini adalah modal dasar, akan sangat sulit untuk maju dan berkembang jika persepsi dasar ini tidak diluruskan.

Setelah semua video selesai diputar, aku meminta tanggapan anak-anak termasuk Elin. Banyak tanggapan positif yang menurutku cukup memotivasi, tapi berbeda dengan jawaban Elin..’ Itu kan dia bu, dia ya dia, ulun ya ulun, kada bisa disamakan, mungkin dia dan pian bisa, tapi kami kada bisa. kaya ini pang kami bu’ ia menjawab dengan sikap cueknya dan apa adanya..Aku menarik nafas panjang..’Elin..Elin… kenapa sulit sekali bagimu untuk berubah’ uangkapku dalam hati. Aku teruskan meminta tanggapan siswa yang lain dan tetap mengapresiasi apapun jawaban mereka, termasuk jawaban Elin.

Kali ini aku meminta mereka untuk menuliskan mimpi mereka hingga 10 tahun yang akan datang, mereka ingin jadi apa dan mau hidup bagaimana, Apapun, sekecil atau sebesar apapun mimpi itu.

Karena agenda hari itu cukup padat, Aku tidak langsung membuka kertas mimpi mereka. Aku baru membukanya 3 hari kemudian, karena aku sempat lupa pada 2 hari sebelumnya. Betapa senangnya Aku melihat ada progress dan peningkatan kualitas berfikir yang cukup bagus dari cara mereka memandang mimpi dan hari depan, ini terlihat dari apa yang mereka tuliskan.

Dan aku lebih kaget ketiga membaca 1 kertas lagi, milik seseorang dengan identitas ‘ELIN’.. didalamnya hanya ada tulisan yang cukup singkat..’Elin ingin MATI, tapi sebelumnya elin pengen jadi penulis dulu’. Membacanya Aku merasa mataku berkaca-kaca.. ‘tidak masalah dik, ini saja sudah suatu peningkatan yang sangat baik’ ungkapku dalam hati.

Aku senang, bukan semata-mata karena Elin ingin juga jadi penulis seperti cita-citaku. tapi lebih kepada kesadarannya tentang essensi kebermanfaatan hidup yang sedang ia jalani dan bekalnya untuk ‘pulang’ seperti yang ia tuliskan didalam kertas mimpi kecil itu.


Memory ‘pojok’ kelas-Banjarmasin-

Ketika aku kembali menemukan kumpulan kertas mimpi itu, ditumpukan buku2ku

A hand to Hold (2) : Untuk Apa Belajar Matematika??

Ini adalah pertanyaan yang pernah dilontarkan seorang siswa sewaktu aku PPL II di salahsatu SMA PGRI di Banjarmasin beberapa waktu lalu..’untuk apa belajar matematika??’

Waktu itu guru pamong lagi ada rapat MGMP di sekolah lain dan memintaku menggantikannya mengajar tentang sudut trigonometri, tentang sin, cos, tan dan kroni2nya.. aku baru pertama kali masuk ke kelas ini, berdasarkan informasi teman, kelas yang akan aku masuki adalah kelas ‘angker’, anak-anaknya sulit diatur. Beberapa teman dikabarkan sempat dibuat kesal oleh beberapa kelakuan siswa di kelas itu, bukan karena mereka nakal, tapi karena mereka samasekali tidak punya niat untuk belajar dan memperhatikan guru, bahkan guru mereka sendiri.

Pertama kali melangkah ke kelas itu, gelagat itu sudah bisa aku rasakan, sangat nampak bahkan.. aku sadar betul murid macam apa yang aku hadapi hari ini..sebagian ada yang mengobrol dipojok kelas, ada yang tidur, ada yang mengeleng-gelengkan kepala dengan headset ditelinganya, ada yang bergendang memukul-mukul meja, ada yang makan dan beragam aktivitas kontraproduktif lainnya, bahkan aku rasa tak ada yang tau tentang kehadiranku di kelas itu (kalau tidak mau dibilang ‘mereka memang sengaja tak mau tau’), salamku pun tak digubris, saat itu hanya 2 murid dimeja depan, yang mungkin terlihat agak kasihan terhadapku..

Menyadari kondisi itu, aku memutuskan tidak akan mengajarkn apapun tentang trigonometri hari itu, percuma! Aku memilih berjalan berkeliling kelas, mencoba membaur dengan aktivitas siswa, sambil melakukan analisis sederhana tentang siapa sebenarnya ‘penguasa’ kelas itu, aku memerlukannya untuk membuat suasana kelas sedikit lebih tenang.. Sampai akhirnya aku menemukan kesimpulannya pada siswa perempuan bertubuh agak gempal dengan wajah sedikit cuek + sinis yang duduk di pojok kiri belakang. Aku mendekatinya, kulihat ia membuat sketsa kartun dibuku tulisnya, wajahnya merengut, Nampak sekali kalau dia lagi kurang mood dan tidak menyukai kehadiranku.. ‘sasuke??’ pertanyaan itu tiba-tiba ku lontarkan padanya..’wah hebat, kau punya bakat yang bagus, gambarmu keren, kaka punya teman yang begitu di kosan’ aku terus berbicara tanpa menunggu jawabannya. Ia tak bergeming, sambil berfikir dalam hati aku berkata ‘keras kepala! Sulit ditaklukkan’. Akhirnya aku coba cara lain untuk menarik perhatiannya, kuputuskan untuk menarik simpati teman sebangkunya terlebih dahulu, dan Alhamdulillah, kali ini berhasil.. Ia tertarik :D

Aku mengobrol panjang lebar bersama 2 orang anak itu, panjang lebar mulai dari naruto dan kepribadian ‘dingin’nya sasuke hingga sedikit tentang pekerjaanku, mereka terlihat antusias..kelas makin ribut. aku berfikir sudah saatnya aku menguji loyalitasnya terhadap ceritaku, perlahan ku pelankan nada suaraku hingga seolah hilang tertelan keributan kelas..mereka nampak bersusah payah mendengarkan. Aku semakin memelankan suaraku, aku katakan kepadanya kelas sangat ribut, ia terlihat tak sabar.. tiba-tiba ia berdiri, maju kedepan kelas dan berteriak keras ‘DIAAAM!..coba pang hormati guru dikelas’. Meskipun kaget, dalam hati aku tersenyum sambil berkata, ‘bagus, itu yang kaka harapkan :)’. Kelas tiba2 menjadi tenang, Aku maju mendekatinya, ‘de makasih ya, nanti istirahat ngobrolnya kita sambung’ kataku sambil tersenyum. Ia mengangguk dan kembali ke tempat duduknya, Aku manfaatkan momen itu sebaik mungkin.

‘adik-adik hari ini kita tidak akan belajar, untuk jam ini kita free’ ucapku sumringah..

‘Horee…’ anak-anak tak kalah riang, kondisi mereka jauh lebih mudah diatur. ‘Tapi sebelumnya kaka mau tanya’ Aku kembali meminta perhatian mereka.

‘kalian suka matematika?’ Aku bertanya lantang..mereka menjawab serempak ‘ kadaaaa..’, berbagai alasan terlontar, matematika sulit, gurunya galak, dan bla..bla..bla.. mereka kembali ribut, aku mencoba tetap sabar dan senyum, ‘ini memang sudah resiko guru matematika, mata pelajaran yang selalu punya label sulit’ aku berkata dalam hati.. sampai ada salah satu anak dibagian depan, yang angkat tangan, meminta perhatian dari teman sekelasnya..setelah agak tenang, seolah ingin memberiku ‘pelajaran’ dia berkata ’memang untuk apa belajar matematika bu?’..’wah, pertanyaan yang sangat bagus’ Aku mengapresiasi pertanyaan itu, meskipun disatu sisi, cukup sulit bagiku menjawabnya..Aku berfikir keras.

‘karena matematika dasar segala ilmu pengetahuan atau karena hidup kita selalu berhubungan erat dengan matematika, atau bla..bla..bla..bla…’ sekian banyak alternative jawaban mampir dikepalaku, tapi tak ada satupun rasanya yang bisa disetujui lisanku, terlalu formal dan sama sekali tidak menyentuh.. sampai akhirnya, ‘Ahaa.. ku temukan jawabannya…’

Ku ambil posisi tepat ditengah-tengah kelas dan meminta mereka mengeluarkan selembar kertas. Di kertas itu aku meminta mereka menulis semua problem/ persoalan hidup yang sedang mereka alami dalam waktu 10 menit, sebanyak-banyaknya! ada siswa yang terlihat malas adan ogah-ogahan, aku mendekatinya..memintanya memegang pulpen dan menyiapkan kertas diatas mejanya, ‘tuliskan’ perintahku tegas tetap sambil tersenyum, akhirnya semua siswa menulis, tanpa terkecuali..

Setelah semua siswa selesai menulis Aku berkata ‘terkadang kalau kita sedang ditimpa masalah, kita merasa seperti orang yang paling menderita sedunia, benar?..kalian ada yang merasa begitu?’ Aku bertanya sambil tersenyum lebar, sebagian murid saling tunjuk sambil tertawa mengejek..’dodi bu, merana diputusi pacar’ teriak anak laki2 dibagian belakang..disambut tawa teman2 sekelasnya.. melihat suasana yang kembali ricuh, aku memberi isyarat agar kelas kembali tenang ‘apa diantara kalian ada ga yang merasa masalahnya sangat berat dan tidak mungkin diselesaikan?’ tanyaku..beberapa siswa saling pandang dan senyum2..‘raise your hand, please..’ aku meminta mereka tunjuk tangan

‘baiklah, kalau begitu..’ aku menuju papan tulis..’2+2, berapa penyelesaiannya?’ tanyaku. anak-anak menjawab serempak ‘ empat…’

‘bagus, lanjutkan…bagaimana kalau ini, berapa penyelesaiannya?’ Aku kembali bertanya, kali ini dengan soal yang sedikit lebih sulit.. siswa masih kelihatan bisa menjawabnya dengan serempak. Begitu seterusnya, hingga 6 soal, yang tingkat kesulitannya semakin tinggi. sampai pada soal terakhir, soal yang ke enam.. semua siswa Nampak berfikir, meskipun ada beberapa diantaranya yang juga tidak begitu serius, atau mungkin agak bosan, karna di soal ketiga mereka sudah mulai ‘macet’, ga bisa jawab.

‘Ada yang berani maju mencobanya?’ Aku menantang mereka, mengumpaninya dengan hadiah…Aku yakin pasti diantara mereka ada yang bisa, ini di indikasikan karena pada soal kelima ada sekitar lebih dari 5 siswa yang mampu menjawab dengan benar. Hampir 5 menit, Aku terus memotivasi, tapi tetap tidak ada satupun siswa yang berani maju..

‘Kalian yakin soal ini punya penyelesaian? Punya jawaban?’ Aku bertanya lantang..mereka mengiyakan. ‘kalau kalian yakin, kenapa tidak mencobanya’ Aku menantang. Masih berharap ada seorang pemberani diantara mereka.. Sampai akhirnya salah seorang siswi perempuan mencoba maju kedepan, aku tersenyum lega..ia mengerjakan semampunya, tak jarang terlihat bingung, berulangkali ia menoleh kebelakang dan menghapus jawabannya karena tak yakin..Aku memberinya beberapa petunjuk, dan sedikit arahan ketika ia Nampak cukup kesulitan, hingga akhirnya ia berhasil. Aku meminta semua siswa memberikan Applause atas keberhasilan dan terlebih untuk keberaniannya.

Setelahnya aku memberikan beberapa soal yang sulit, tapi bukan untuk diselesaikan..melainkan hanya untuk diyakini bahwa soal tersebut punya penyelesaian. ‘kenapa kalian bisa yakin soal ini punya penyelesaian?’ tanyaku. Seorang siswa menjawab ‘karena soal matematika pasti bisa dijawab bu’..’Kenapa kamu bisa seyakin itu, kan kita belum mencobanya?’ aku bertanya lagi. ‘justru itu harus dicoba bu, baru tau jawabannya’ kata siswa yang lain. ‘hm..kalau begitu, Bagaimana caranya agar kita bisa menyelesaikan soal ini dengan benar?’ Aku terus bertanya. ‘harus tau jalannya bu, hafal rumusnya bu, belajar bu’ siswa menjawab dengan serabutan. ‘ya benar, harus punya ilmunya, harus hafal rumusnya dan bisa menjalankannya..ini semua tidak akan bisa dilakukan tanpa ada kemauan dari kita untuk terus belajar’

“adik-adik itulah kenapa kaka suka metematika dan merasa perlu belajar matematika, karna matematika punya filosofi yang sama dengan hidup, mencintai dan menyukai matematika akan membentuk jiwa kita untuk punya keyakinan dan harapan yang tinggi, membuat yakin bahwa segala persoalan sesulit apapun itu, pasti punya penyelesaian. Ketika kita dihadapkan pada banyak persoalan atau masalah, Kita hanya perlu berani, sabar dan terus belajar. Berani menyelesaikan dan sabar dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk sabar dalam belajar. Orang yang kurang sabar, pengen semuanya mudah akan sulit berhasil, Karena tidak semua soal itu mudah diselesaikan, ada yang perlu waktu dan proses yang lama, serta cara berbelit belit..Allah akan memberi kita persoalan yang banyak dalam hidup, dari yang mudah hingga yang sulit.. tapi kita tidak boleh menyerah, kita harus berani mencoba, kita harus sabar dalam menyelesaikannya, dan disiplin menjalankan tiap tahap penyelesaian. ingat kuncinya, kita harus tetap yakin, selama soal itu tidak salah, maka setiap soal pasti punya penyelesaian!”..aku memberi jeda, “dan kalian harus yakin Allah tidak pernah salah dalam memberi kita persoalan dalam hidup, karena Dia sangat tau apa yang terbaik buat kita” ucapku Mantap.

‘sekarang pandangi kertas kalian, berjanjilah pada diri sendiri bahwa kalian akan mampu menyelesaikan segala persoalan yang kalian tulis dengan baik’.. Hari itu aku tutup pelajaran dengan penuh harapan mereka dapat belajar banyak hal, tidak sekedar belajar matematika..tapi lebih dari itu, kalian belajar tentang sesuatu yang paling subtansi dalam hidup ini, keyakinan..

***

Hari ini ketika keputusasaan melihat nasib bangsa ini secara diam2 ingin menjeratku, ketika kebijakan selalu kurasa timpang, lembaga rakyat kehilangan kredibilitas karena para penghuninya, lembaga penegak hukum justru menjadi lembaga yang paling pantas untuk diadili, ketika bergemul dengan dunia politik yang penuh dusta, seolah tak ada satu celahpun untuk menyelesaikan problem bangsa ini.. Aku seolah selalu diingatkan konsep keyakinan matematis yang dulu pernah aku ajarkan pada mereka.

“sekalipun, Matematika tidak pernah mengajarkanku menyerah, matematika selalu mengajarkanku yakin dan optimis, bahwa segala soal sesulit apapun itu, pasti punya penyelesaian, kecuali jika soal itu salah. Dan hingga saat ini Aku selalu yakin, Allah tidak pernah salah dalam membuat soal untuk kita, untuk semua ciptaanNya..indonesia pasti bisa bangkit dari keterpurukannya, kita hanya perlu berani berjuang, sabar dan terus belajar”

-Merindukan kalian, Memory ‘pojok’ sekolah..Banjarmasin-

Wednesday, March 9, 2011

The New York Times : Bersama Ikhwanul Muslimin

Tadi pagi, ketika tiba di laboratorium menunggu sensei yang tengah rapat, tak sengaja saya melihat headline The New York Times (NYT) online dengan judul yang cukup membuat saya tertarik: “Among the Muslim Brotherhood”.

Awalnya saya kira, majalah Amerika yang berbasis di New York itu akan memberitakan sisi negatif dari sebuah organisasi Islam di Mesir yang sudah puluhan tahun silam berdiri namun oleh pemerintah Mesir dianggap sebagai organisasi illegal karena pergerakannya yang seringkali tidak sejalan dengan pemerintahan Hosni Mubarak. Organisasi Islam yang didirikan oleh Hasan Al Banna ini telah menginspirasi ribuan bahkan mungkin jutaan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.

Membaca paragraf demi paragraf dari artikel tersebut, membuat hati saya lega. Wartawan NYT yang menulis artikel tersebut menggambarkan bagaimana pertemuannya dengan salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin: Sobhi Sholeh, membuatnya cukup terkesan dengan organisasi pergerakan yang kini tengah mendapat sorotan hangat selama aksi protes rakyat Mesir terhadap rezim Hosni Mubarak.

Mungkin artikel ini menjadi menarik sebagai pandangan lain dari "barat", mengingat banyak negara barat pro-amerika yang sedang cemas apabila protes rakyat mesir nantinya berakhir dengan berkuasanya Ikhwanul Muslimin.

Beberapa penggalan artikel yang dituliskan oleh wartawan NYT tersebut antara lain:

"...Apa yang akan Anda bayangkan jika bertamu ke salah satu rumah seorang petinggi organisasi Islam? Tentu bukan gua-gua yang digunakan Osama bin Laden bersembunyi, namun bukan pula apartemen mewah dengan hiasan dinding berupa lukisan alam, lampu gantung yang indah, ataupun sekelompok bunga yang menghiasi meja untuk menyantap kopi. Apartemen Sobhi Sholeh lebih terlihat seperti ruangan tua yang sempit dengan bau terbakar dari penerangan di meja makan... namun ternyata ruangan sempit itu bisa digunakan untuk menjamu 30 orang..."

"...Ia (Sobhi Sholeh) adalah sosok yang sangat menawan. Sosok orang yang akan Anda jumpai dalam sebuah acara kemudian berjabat tangan dengan Anda dan tiba-tiba Anda menyampaikan pada semua orang bahwa: "Ia seseorang yang sungguh sangat baik..." tanpa Anda ketahui apa alasannya..."

"...Mungkin nama Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) lebih terkesan seperti nama untuk sebuah kelompok teroris radikal yang digunakan oleh seorang pengarang cerita fiksi. Kenyataannya, anggota organisasi ini sangat jauh kesannya dari penggambaran tersebut. Mereka berasal dari berbagai golongan masyarakat yang berlandaskan atas keimanan dan sedikitpun tak ada pada mereka gambaran tipe garis geras seperti Al Qaeda... dan Anda akan menjumpai mereka selama aksi protes berlangsung di Mesir, bersama-sama kelompok masyarakat menyapu jalanan dan mengarahkan lalu lintas*..."

*perlu diingat bahwa polisi mesir sudah banyak yang melarikan diri dari amukan massa yang sudah tidak menaruh respek terhadap kepolisian mesir...

"...seandainya polisi mesir mencari keberadaannya, ia akan selalu bisa dicari ditempat yang sama mereka menculiknya, di rumahnya yang sederhana dengan bau khasnya, ditengah buku dan keluarganya..."

Masya Allah...

Wallahualam...

Silakan membaca reportase wartawan Nicholas Kulish tentang pertemuannya dengan salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin, Sobhi Sholeh, yang baru saja keluar dari "penculikan" polisi Mesir.

Artikel aslinya di sini:

http://www.nytimes.com/2011/02/13/magazine/13FOB-WWLN-t.html

"Among The Muslim Brotherhood"

It is almost impossible to convince yourself that a band of young men holding machetes, pipes and two-by-fours have only your safety in mind when they stop your car. Even after the 20th checkpoint, your heart still beats faster, and that tingle ripples over you until one of the men pops up your windshield wipers, signaling for the next group down the road that your car has been checked.

This is what driving is like in Alexandria when the police have fled. We want to visit Sobhi Saleh, the former secretary general of the Muslim Brother­hood’s parliamentary group. When we tell the final cluster of youths that we are going to see him, there are murmurs of respect. We leave the car at a makeshift barricade and enter a canyon of high-rise apartment buildings on foot. The elevator fits only two at a time, so we split up for our ride to the 13th floor. On Saleh’s door is a small brass plate with Arabic script that reads, “Sobhi Saleh, attorney before the highest court.”

What do you expect when you visit a leader of a political Islamic group? Not bin Laden’s cave, perhaps; but neither do you expect a tasteful apartment with landscape paintings and three chandeliers in the living room and flower petals in a dish on the coffee table. Saleh’s apartment could be a tidy grandmother’s home, were it not for the incense burning in a holder on the dining-room table and the fact that the common room could seat 30 people.

We wait. Saleh has just got out of prison and wanted to take a shower. We do not wait long. “I haven’t taken a shower in five days,” he says on entering the room. “I needed water on my body after five days in the same clothes.” He is a distinguished 57, clean-shaven, with white hair, wearing an orange sweater and black flip-flops. He has a leopard tissue cozy: not a leopard-print container, but what looks like a toy stuffed animal around his tissue box. He is immediately engaging, the kind of person you shake hands with at a conference then find yourself telling people, “He’s such a nice guy,” without really knowing why. It has to do with the way he laughs at the absurdity, even the pain, of life as he tells his harrowing story of the past few days.

Not very many people in Egypt missed the events of Friday, Jan. 28, but Sobhi Saleh did. He spent Thursday evening working on a speech that he planned to give the next day. He went to bed at midnight, then woke at 1:30 a.m. to insistent knocking. When he opened the door, he was face to face with a plainclothes police officer. Two more in uniform, and then four more plainclothes men, followed the leader into the apartment. They insisted on looking through his library, in his bedroom; Saleh woke his wife and asked her to leave the room. The officers seized his laptop, searched briefcases, took some of his papers and then took him. “I closed the door to my daughter’s room,” he told me. “I didn’t want them to wake her.” He had been to jail before.

He had the impression the officers were in a hurry. There were two cars waiting downstairs. After questioning at a police station in Alexandria, he and two colleagues from the Brotherhood were taken on a desert road leading to Cairo.

As a lawyer, Saleh knew that they were not technically under arrest, knew that they had not been charged and that when they arrived they were not in a prison but on some security base. “Then we understood that we were kidnapped,” he explained. “We were not protected by anyone. This is a place where you are just kept.” There were 34 members of the Muslim Brotherhood from all over the country there. They slept on the floor. “They just locked the door and left,” he says. “We thought maybe someone would come and shoot us and leave us in the desert. No one knew about us. No one knew where we were.” It is striking how nonchalantly he says this. Sometimes people are taken from their homes, detained and killed, and no one ever knows. It is part of a pattern; the founder of the Brotherhood, Sheikh Hassan al-Banna, was assassinated more than 60 years ago.

The Muslim Brotherhood sounds like a fictional name a scriptwriter would give to a radical terrorist group. Its actual members don’t really fit that cartoonish characterization. They come across as civic-minded people of faith. There is none of the proselytizing or the menacing tones of hard-core Salafists — the Al Qaeda types. The Brotherhood might well have a more radical agenda than their public face suggested after the demonstrations began, but on that occasion you saw them out with neighborhood groups sweeping the streets and directing traffic.

On that now-famous Friday on which Sobhi Saleh planned to give his speech, the police moved in so quickly that some worshipers didn’t have time to put on the shoes they are required to leave outside. From our vantage point on the roof of an apartment building in downtown Alexandria, the tear gas made our eyes stream, made us gag and burned our lungs. (How on earth did people pick up the canisters spitting gas in their faces and throw them back?)

A battle played out below, riot police versus protesters, maybe 100 versus 300, respectively, but one side with body armor, helmets, shields, clubs and guns for shooting gas, rubber bullets and pellets. A man with a tear-gas rifle took a rock square to the helmet and began shooting the burning-hot metal canisters straight at protesters’ heads and torsos. Elsewhere one officer broke chunks of concrete into smaller, easier-to-throw pieces, while another collected them in a basket so gently it seemed as if he were gathering eggs.

For all the stone-throwing and tear gas, it seemed more like a protest than a revolution until we heard the sound of muffled chanting and then strained to see, through the haze of gas, thousands of Egyptian civilians making their way to the fight. It is hard to put into context, coming from a country not governed by laws that allow the arrest of groups of more than three people, what it means to see this kind of crowd in Egypt. Two days before, we followed 80 or so protesters around a poor neighborhood, everyone scrambling at the first sign of police. But here, now, were thousands, in just one of several protests in Alexandria and dozens across Egypt.

The emergency room at the general hospital didn’t look like an emergency room. It looked like a squalid waiting area with rubber-covered mattresses. Two men had been shot through their thighs. Another man had been shot in the upper arm, and the blood was seeping through his bandage. But it was the finger I could not forget: a man’s finger had been hit by a bullet and was coated with congealed blood. It jutted at a crazy angle. Hands are said to be the most expressive part of the human body after the face, a notion I never really understood until I stared at this man’s finger, untreated and unbandaged because so many more serious wounds required treatment first.

The morgue was worse, not so much because of the dead but because of the living come to claim them. The relatives of a young man who had been shot dragged us in, saying: “You have to see. You have to tell people.” A man slumped against the wall — a tall man with a mustache who seemed as if he was probably a skittish joker under normal circumstances. He said: “They went out. They had no guns. They were peaceful protesters, and they killed them.” Then he began to shake and to sob. He cried more intensely than I have ever seen a grown man cry. Our interpreter, Alia Mossallam, 29, was normally a buoyant person — at the clashes Friday she cheerfully brought out vinegar to help with the tear gas the way someone surprises the group with a bottle of Prosecco at a picnic, but she came undone when a mother asked her opinion about her dead son, “Isn’t he beautiful, just like I said?” Then the woman began making requests of her son, as if he were still alive: “Speak to me in your beautiful voice again. Tell me you are happy to see me.”

This was a result of the protests. There were 13 dead demonstrators in that one room. There were at least two more such morgues in Alexandria. There were dead in Cairo and in Suez. Where else? Were there dead people we would never learn about in the desert? Was Sobhi Saleh — a grandfather and lawyer who spent five years in Parliament until the winds shifted and he was once again the kind of person who could simply be kidnapped — among them?

At the security base, Saleh and the other brothers overheard two of the guards talking about the violent turn the demonstrations had taken. It made them all the more concerned that they might be killed. One of their number had already suffered what he thought was a heart attack. They banged and kicked and raised a great clamor until a doctor was brought. He survived.

They pooled the money left in their pockets to pay a guard to bring them food. Saleh wrote a letter. He demanded that they be charged. “So they said, ‘In two hours, we’ll tell you,’ ” he says when we meet. On Saturday night, they were taken to a proper prison, Wadi Natrun, on the road between Cairo and Alexandria.

They were each given a blanket and divided three to a cell. Later they heard a tremendous racket inside the prison, then gunshots. Tear gas began to seep into their cells. “We thought we were going to die,” he says. “We were locked in, and the gas came in, and there was no way to escape.”

The guards ran away, followed by the prisoners: the murderers and thieves, the hard-core Islamists. Saleh says that this last group felt just enough solidarity with him and his comrades to cry out: “Brothers! Brothers! The prison is on fire.” But they didn’t stop to try to free them.

Saleh pauses at this point in his tale: “We were all laughing. We said, ‘This is crazy!’ ” In his apartment on the 13th floor we all laugh, the driver, the guide, my colleague Souad Mekhennet and I, and the man himself. “ ‘Brothers! Brothers! The prison is burning,’ ” he repeats, imitating them.

The Brotherhood men lifted the smallest of their group up to the window to scream for help. The prison did not burn down, but it was only on Sunday morning that people from nearby towns came by and realized that people were still inside and brought hammers. It took three more hours before they were free.

They borrowed money and bought phones. They called Al Jazeera and told the station: “We are here in front of the prison. Does anybody want us?” Nobody came. Finally the men gave up on waiting for Al Jazeera, called friends and family to ask for rides and were driven home.

He interrupts his story to get the clothes he had been wearing, warning with pinched nose and waving hand that they smelled. In the silence that follows, we listen to the crackling of gunfire below in the street. While Saleh was detained, his country changed. The army is in the streets.

When Saleh returns, we ask when precisely he made it back to Alexandria. “An hour ago,” he answers. He holds up the tan sweater, the brown corduroys, the purple button-front shirt. It’s just what he grabbed when the police came. Between his return to Alexandria and his shower, he gave a speech standing on a yellow car, through a loudspeaker, to thousands of people in Saad Zaghloul Square: “I stood on the car and told the people we just got out of prison. I came to you from prison before I even entered my house. We did not run away. We will not run away.” He says they chanted “Long live Egypt” in response.

We realize that we have stayed long after dark, which we had planned not to do. We also have not asked our main question, which is why the Brotherhood seemed to be allowing Mohamed ElBaradei to speak on their behalf. “This is not a Brotherhood movement,” he answers. “This is a movement of the Egyptian people, without color, without any ideology.” Soon, Saleh will either be called upon to help guide a corrupt, unruly, poverty-filled country of over 80 million people, or he will hear the knocking on his door again in the middle of the night.

The drive back is slow going, with checkpoints on every corner. Each block has a different group of young residents defending their street. Rain begins to fall, and there is the sporadic sound of gunfire, but thousands are still marching, in defiance of the curfew. They have been marching for three straight days.

It is jarring to come back to the marble and gold lobby of the Sofitel Cecil, right on the grand coastal boulevard, to return to comfort and a vast buffet. Souad calls me from her room. She has been watching state television, and they are warning about hundreds of escaped convicts, including 34 members of the Muslim Brotherhood. If they want Sobhi Saleh, they can find him exactly where they did before, in his cozy home, redolent of incense, among his books and his family.

dicopy dari : http://danangap7.multiply.com/journal/item/104


Wednesday, March 2, 2011

RESENSI (1) : Jerome Becomes A Genius

Judul :Jerome Become A Genius,

Penulis : Eran Katz,

Penerbit : Ufuk Publishing House,

Tebal : 442 Halaman, Terbit : Oktober 2009


Buku Jerome Becomes A Genius adalah buku yang saya tuntaskan desember tahun lalu. mungkin ini buku pertama kali yang membuat semangat saya terpacu untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai seorang muslim. Saya yakin ketika anda membacanya, andapun akan mendapat manfaat sebesar yang saya dapatkan!

***

STEREOTIP yang mengatakan bahwa orang Yahudi memiliki otak cerdas begitu lekat sampai sekarang. Baik yang berkonotasi negatif dengan mengasosiasikan mereka sebagai orang yang licik, penipu, dan menakutkan. Maupun yang berkonotasi positif, dalam arti mereka memiliki otak yang brilian.

Hal itu diperkuat dengan sejumlah bukti dari beberapa tokoh Yahudi yang dikenal memiliki kecerdasan luar biasa. Sebut saja, Albert Einstein penemu atom, sutradara kondang Steven Spielberg, pakar keuangan macam George Soros, Alan Greenspan, sampai penemu Facebook Mark Zuckerberg.

Itu belum seberapa, malah beberapa tokoh Yahudi namanya malah sudah menjadi merek terkenal di dunia dan digandrungi banyak orang. Mulai dari bisnis parfum sampai otomotif, antara lain Estee-Lauder (parfum), Ralph Lauren (pakaian), Levi Strauss (celana jeans), dan Adam Citroen (merek mobil).

Memang banyak juga tokoh di luar yahudi yang cerdas, baik dari agama Islam, Kristen, Budha, maupun Hindu. Seperti Ibnu Sina, Isaac Newton, Copernicus, Leonardo da Vinci, dan Mahatma Gandhi. Lalu, mengapa stereotip orang yahudi itu memiliki otak cerdas begitu melekat? Itu karena populasi mereka di dunia begitu kecil, namun memiliki pengaruhi besar di dunia.

Pada tahun 2000, populasi Yahudi di dunia hanya berjumlah 13 juta orang atau hanya 0,25% dari enam miliar penduduk dunia. Sebagai ilustrasi saja, dari sekitar 270 tokoh penerima hadiah Nobel yang diberikan sejak 1901, 102 orang adalah tokoh Yahudi. Apa pun itu, fakta kecil ini cukup mengejutkan. Bukan untuk memuji, apalagi mengagungkan, namun kenyataan ini menarik untuk diungkap. Bagaimana orang Yahudi bisa dikonotasikan sebagai bangsa yang cerdas.

Rahasia kecerdasan otak orang Yahudi dikupas dalam buku Jerome Becomes A Genius, Mengungkap Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi karya Eran Katz. Buku setebal 442 halaman yang diterbitkan Ufuk Publishing House membedah secara detail, mulai dari sejarah, kebiasaan-kebiasaan positif, dan mengembangkan menggunakan otak, sehingga membuat orang Yahudi menjadi cerdas.

Misalnya saja, orang Yahudi percaya bahwa Nabi Musa menuliskan Taurat itu dari ‘api berwarna hitam di atas api berwarna putih’. Mereka pun selalu menuliskan apa pun selalu menggunakan sesuatu berwarna hitam di atas sesuatu yang berwarna putih. Selain warna hitam dan putih tidak mudah pudar, juga memberikan efek ketenangan sehingga lebih mudah dibaca dan diingat.

Mereka pun memiliki prinsip dalam kondisi susah dan miskin, anak-anak mereka harus tetap belajar dan sekolah. Bahkan mereka memilih lebih baik tidak makan daripada tidak membaca buku dan sekolah. Jadi tak usah heran bila di pedesaan miskin (Ghetto) di Israel, setiap anak selalu memiliki, minimal sebuah buku bacaan.

Guru-guru yang mengajarkan pelajaran kepada anak-anak akan menerima imbalan yang luar biasa. Bahkan bila guru itu tak mau menerima bayaran, mereka akan mendapat penghormatan melebihi hormatnya seorang anak kepada orangtua. Bangsa Yahudi menyadari bahasa Ibrani bukan bahasa yang komunikatif dan tak seindah bahasa Arab, makanya mereka mengembangkan teknik khusus menguasai berbagai bahasa asing.

Karena itu, dalam satu bulan seorang Yahudi bisa menguasai sebuah bahasa asing secara sederhana. Hal itu membuat banyak orang Yahudi bisa cepat berbaur di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika Serikat, sampai ke Amerika Latin dan sejumlah negara Arab.

Buku ini cukup unik dan menarik. Dituliskan dengan bahasa bertutur yang diangkat dari pengalaman penulis dengan dua rekannya Itmar Forman, seorang profesor dan Jerome, seorang pelajar yang pintar, membuat kita mengerti mengapa sampai ada mitos Yahudi itu cerdas.

Rahasia-Kecerdasan-Orang-Yahudi

Rahasia Kecerdasan Orang Yahudi Ditulis pada Februari 26, 2009 oleh vandha Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana Orang Yahudi Israel dalam meningkatkan SDMnya, mungkin bisa menjadi motivasi. Namun yang menarik, semua kebiasaan mereka (Yahudi) yang dipaparkan di sini, hampir semuanya berakar dari ajaran Islam. Serasa disambar Gledek tulisan yang saya kutip dari milis Daarut Tauhid ini cukup menggelorakan jiwa. Apa iya? Ayo simak bersama…!

Artikel Dr Stephen Carr Leon patut menjadi renungan bersama. Stephen menulis dari pengamatan langsung. Setelah berada 3 tahun di Israel karena menjalani housemanship dibeberapa rumah sakit di sana. Dirinya melihat ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik sebagai bahan tesisnya, yaitu, “Mengapa Yahudi Pintar?” Ketika tahun kedua, akhir bulan Desember 1980, Stephen sedang menghitung hari untuk pulang ke California, terlintas di benaknya, apa sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa tuhan memberi kelebihan kepada mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri? Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk Phd-nya. Sekadar untuk Anda ketahui, tesis ini memakan waktu hampir delapan tahun. Karena harus mengumpulkan data-data yang setepat mungkin.

Marilah kita mulai dengan persiapan awal melahirkan. Di Israel, setelah mengetahui sang ibu sedang mengandung, sang ibu akan sering menyanyi dan bermain piano. Si ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikan soal bersama suami. Stephen sungguh heran karena temannya yang mengandung sering membawa buku matematika dan bertanya beberapa soal yang tak dapat diselesaikan. Kebetulan Stephen suka matematika. Stephen bertanya, “Apakah ini untuk anak kamu?” Dia menjawab, “Iya, ini untuk anak saya yang masih di kandungan, saya sedang melatih otaknya, semoga ia menjadi jenius.” Hal ini membuat Stephen tertarik untuk mengikut terus perkembangannya. Kembali ke matematika tadi, tanpa merasa jenuh si calon ibu mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan.

Hal lain yang Stephen perhatikan adalah cara makan. Sejak awal mengandung dia suka sekali memakan kacang badam dan korma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang-kacangan. Menurut wanita Yahudi itu, daging ikan sungguh baik untuk perkembangan otak dan kepala ikan mengandungi kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan penumbuhan otak anak didalam kandungan. Ini adalah adat orang orang Yahudi ketika mengandung. menjadi semacam kewajiban untuk ibu yang sedang mengandung mengonsumsi pil minyak ikan. Ketika diundang untuk makan malam bersama orang orang Yahudi. Begitu Stephen menceritakan, “Perhatian utama saya adalah menu mereka. Pada setiap undangan yang sama saya perhatikan, mereka gemar sekali memakan ikan (hanya isi atau fillet),” ungkapnya.

Biasanya kalau sudah ada ikan, tidak ada daging. Ikan dan daging tidak ada bersama di satu meja. Menurut keluarga Yahudi, campuran daging dan ikan tak bagus dimakan bersama. Salad dan kacang, harus, terutama kacang badam. Uniknya, mereka akan makan buah buahan dahulu sebelum hidangan utama. Jangan terperanjat jika Anda diundang ke rumah Yahudi Anda akan dihidangkan buah buahan dahulu. Menurut mereka, dengan memakan hidangan kabohidrat (nasi atau roti) dahulu kemudian buah buahan, ini akan menyebabkan kita merasa ngantuk. Akibatnya lemah dan payah untuk memahami pelajaran di sekolah.

Di Israel, merokok adalah tabu, apabila Anda diundang makan dirumah Yahudi, jangan sekali kali merokok. Tanpa sungkan mereka akan menyuruh Anda keluar dari rumah mereka. Menyuruh Anda merokok di luar rumah mereka. Menurut ilmuwan di Universitas Israel, penelitian menunjukkan nikotin dapat merusakkan sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada gen. Artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak ( bodoh). Suatu penemuan yang dari saintis gen dan DNA Israel.

Perhatian Stephen selanjutnya adalah mengunjungi anak-anak Yahudi. Mereka sangat memperhatikan makanan, makanan awal adalah buah buahan bersama kacang badam, diikuti dengan menelan pil minyak ikan (code oil lever). Dalam pengamatan Stephen, anak-anak Yahudi sungguh cerdas. Rata rata mereka memahami tiga bahasa, Hebrew, Arab dan Inggris. Sejak kecil mereka telah dilatih bermain piano dan biola. Ini adalah suatu kewajiban. Menurut mereka bermain musik dan memahami not dapat meningkatkan IQ. Sudah tentu bakal menjadikan anak pintar. Ini menurut saintis Yahudi, hentakan musik dapat merangsang otak. Tak heran banyak pakar musik dari kaum Yahudi. Seterusnya di kelas 1 hingga 6, anak anak Yahudi akan diajar matematika berbasis perniagaan. Pelajaran IPA sangat diutamakan. Di dalam pengamatan Stephen, “Perbandingan dengan anak anak di California, dalam tingkat IQ-nya bisa saya katakan 6 tahun kebelakang!! !” katanya. Segala pelajaran akan dengan mudah di tangkap oleh anak Yahudi. Selain dari pelajaran tadi olahraga juga menjadi kewajiban bagi mereka. Olahraga yang diutamakan adalah memanah, menembak dan berlari. Menurut teman Yahudi-nya Stephen, memanah dan menembak dapat melatih otak fokus. Disamping itu menembak bagian dari persiapan untuk membela negara.

Selanjutnya perhatian Stephen ke sekolah tinggi (menengah). Di sini murid-murid digojlok dengan pelajaran sains. Mereka didorong untuk menciptakan produk. Meski proyek mereka kadangkala kelihatannya lucu dan memboroskan, tetap diteliti dengan serius. Apa lagi kalau yang diteliti itu berupa senjata, medis dan teknik. Ide itu akan dibawa ke jenjang lebih tinggi. Satu lagi yg di beri keutamaan ialah fakultas ekonomi. Saya sungguh terperanjat melihat mereka begitu agresif dan seriusnya mereka belajar ekonomi. Diakhir tahun diuniversitas, mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek. Mereka harus memperaktekkanya. Anda hanya akan lulus jika team Anda (10 pelajar setiap kumpulan) dapat keuntungan sebanyak $US 1 juta! Anda terperanjat? Itulah kenyataannya.

Kesimpulan, pada teori Stephen adalah, melahirkan anak dan keturunan yang cerdas adalah keharusan. Tentunya bukan perkara yang bisa diselesaikan semalaman. Perlu proses, melewati beberapa generasi mungkin? Kabar lain tentang bagaimana pendidikan anak adalah dari saudara kita di Palestina. Mengapa Israel mengincar anak-anak Palestina. Terjawab sudah mengapa agresi militer Israel yang biadab dari 27 Desember 2008 kemarin memfokuskan diri pada pembantaian anak-anak Palestina di Jalur Gaza. Seperti yang kita ketahui, setelah lewat tiga minggu, jumlah korban tewas akibat holocaust itu sudah mencapai lebih dari 1300 orang lebih. Hampir setengah darinya adalah anak-anak. Selain karena memang tabiat Yahudi yang tidak punya nurani, target anak-anak bukanlah kebetulan belaka. Sebulan lalu, sesuai Ramadhan 1429 Hijriah, Ismali Haniya, pemimpin Hamas, melantik sekitar 3500 anak-anak Palestina yang sudah hafidz al-Quran. Anak-anak yang sudah hafal 30 juz Alquran ini menjadi sumber ketakutan Zionis Yahudi. “Jika dalam usia semuda itu mereka sudah menguasai Alquran, bayangkan 20 tahun lagi mereka akan jadi seperti apa?” demikian pemikiran yang berkembang di pikiran orang-orang Yahudi.

Tidak heran jika-anak Palestina menjadi para penghafal Alquran. Kondisi Gaza yang diblokade dari segala arah oleh Israel menjadikan mereka terus intens berinteraksi dengan al-Qur’an. Tak ada main Play Station atau game bagi mereka. Namun kondisi itu memacu mereka untuk menjadi para penghafal yang masih begitu belia. Kini, karena ketakutan sang penjajah, sekitar 500 bocah penghafal Quran itu telah syahid. Perang panjang dengan Yahudi akan berlanjut entah sampai berapa generasi lagi. Ini cuma masalah giliran. Sekarang Palestina dan besok bisa jadi Indonesia.

Bagaimana perbandingan perhatian pemerintah Indonesia dalam membina generasi penerus dibanding dengan negara tetangganya. Ambil contoh tetangga kita yang terdekat adalah Singapura. Contoh yang penulis ambil sederhana saja, Rokok. Singapura selain menerapkan aturan yang ketat tentang rokok, juga harganya sangat mahal. Benarkah merokok dapat melahirkan generasi “Goblok!” kata Goblok bukan dari penulis, tapi kata itu sendiri dari Stephen Carr Leon sendiri. Dia sudah menemui beberapa bukti menyokong teori ini. “Lihat saja Indonesia,” katanya seperti dalam tulisan itu. Jika Anda ke Jakarta, di mana saja Anda berada, dari restoran, teater, kebun bunga hingga ke musium, hidung Anda akan segera mencium bau asap rokok! Berapa harga rokok? Cuma US$ 0.7 /bungkus !!! “Hasilnya? Dengan penduduknya berjumlah jutaan orang berapa banyak universitas? Hasil apakah yang dapat dibanggakan? Teknologi? Jauh sekali. Adakah mereka dapat berbahasa selain dari bahasa mereka sendiri? Mengapa mereka begitu sukar sekali menguasai bahasa Inggris? Ditangga berapakah kedudukan mereka di pertandingan matematika sedunia? Apakah ini bukan akibat merokok? Anda fikirlah sendiri?”

Dikutip dari: http://vandha.wordpress.com/2009/02/26/rahasia-kecerdasan-orang-yahudi/