Saturday, March 19, 2011

A hand to hold (3) : Elin Ingin Jadi Penulis

Elin, begitu ia dipanggil teman-temannya. Aku tidak ingat persis siapa nama panjangnya, yang pasti ia adalah pemimpin dari grup 5 cewek gaul dikelas itu. ada satu yang khas dari dirinya..caranya memakai kerudung. Entah apa sebabya, ia selalu mengangkat bagian belakang kerudungnya kearah depan, dan memperlihatkan rambut rebonding sepundaknya.

Selama 3 minggu aku akan rutin memasuki kelasnya, guru pengasuh mapel matematika akan melangsungkan walimatul ursy dan meminta mahasiswa PPL untuk menggantikannya selama itu, Aku sendiri kebagian kelas XI dan XII khusus jurusan IPA. Sebelum masuk ke kelas ‘Elin’ guru pamong telah mewanti-wantiku, agar aku bersikap cuek dan tidak menghiraukan apapun kelakuannya, mengingat 2 hari lalu ada mahasiswa bahasa yang sempat dibuat menangis karena ‘perang dingin’ dengan elin.

Pertemuan pertama dikelas itu, aku merasa kelas itu cukup istimewa untuk ukuran sekolah PGRI. Sebagian besar siswa cukup mudah diatur, meskipun penjelasan harus diulang beberapa kali. Terkecuali 5 orang, Elin dan ganknya. 3 orang temannya masih terlihat kurang nyaman, mereka mencatat seadanya. Berbeda dengan Elin, Ia dan satu lagi temannya keluar masuk tanpa izin denganku, bahkan pertanyaanku tak pernah ia jawab. Waktu itu rasanya, Aku sangat kesal.

Agar tidak boring, seperti biasanya ditengah pelajaran berlangsung aku menyelipkan beberapa cerita, pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, tentunya yang ‘nyambung’ dengan karakteristik siswa dikelas itu. Hari itu kami berbincang tentang cita-cita dan pentingnya punya cita-cita. Setelah berbicang panjang lebar, aku meminta beberapa siswa untuk mengatakan cita-citanya pada teman sekelasnya.

Termasuk pada Elin…’Elin bagaimana denganmu, Apa cita-citamu?’ Ia mendongak, seolah tak mau tau tentang apa yang kami perbincangkan beberapa menit lalu dikelas. Aku mengulangi pertanyaanku. ‘Elin, kau punya cita-cita apa? Katakan dan bagilah pada teman sekelasmu’…’Mati bu’ jawab Elin singkat. Siswa yang lain menatapku lekat, seolah menahan rasa tak enak.

‘wah…itu cita-cita yang hebat dan unik’ kataku…’kaka saja tidak pernah berani bercita-cita untuk mati, karena kaka yakin orang mati tidak akan bisa melakukan apapun kecuali menunggu, apakah ia diberi kenikmatan dan dimasukkan ke syurga atau justru dapat siksaan, berbeda dengan orang hidup. Orang hidup bisa berbuat banyak, orang hidup bisa membahagiakan orang-orang yang ia sayangi, orang hidup bisa berupaya sekuat tenaga mewujudkan mimpinya ’ Aku menambahkan. Aku focus pada Elin, ia tak bergeming, seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

“Kalau kaka cita-citanya selain jadi Guru, juga pengen jadi peneliti sekaligus penulis..karena kaka yakin kalau mati nanti penulis bisa meninggalkan banyak hal untuk orang-orang yang ia tinggalkan, minimal ide dan gagasan yang ia bangun lewat tulisannya. sama seperti manusia lainnya, seorang penulis suatu saat nanti pasti akan mati, tapi tidak dengan karya dan tulisannya” Aku tetap melanjutkan, berharap ia mendengar. Meskipun Elin tetap menunjukkan sikap acuh tak acuh.

Hari itu, Aku tutup pelajaran dan menjanjikan pertemuan selanjutnya kami tidak akan belajar matematika, tapi kami akan menonton video yang akan ku bawa di laboratorium IPA, disana ada screen yang cukup besar, meskipun ya tetap kalah kalau dibandingkan screen di bioskop.

***

Hari itu akhirnya datang juga, pertemuan kedua yang kujanjikan..Aku meminjam LCD dari luar, kami semua menuju lab IPA di dekat ruang guru..video pembuat jejak-nya danang A prabowo dan beberapa video motivasi lain Aku putarkan. Kembali kami bercerita kekuatan atau sugesti mimpi dan cita-cita. Menurutku ini adalah modal dasar, akan sangat sulit untuk maju dan berkembang jika persepsi dasar ini tidak diluruskan.

Setelah semua video selesai diputar, aku meminta tanggapan anak-anak termasuk Elin. Banyak tanggapan positif yang menurutku cukup memotivasi, tapi berbeda dengan jawaban Elin..’ Itu kan dia bu, dia ya dia, ulun ya ulun, kada bisa disamakan, mungkin dia dan pian bisa, tapi kami kada bisa. kaya ini pang kami bu’ ia menjawab dengan sikap cueknya dan apa adanya..Aku menarik nafas panjang..’Elin..Elin… kenapa sulit sekali bagimu untuk berubah’ uangkapku dalam hati. Aku teruskan meminta tanggapan siswa yang lain dan tetap mengapresiasi apapun jawaban mereka, termasuk jawaban Elin.

Kali ini aku meminta mereka untuk menuliskan mimpi mereka hingga 10 tahun yang akan datang, mereka ingin jadi apa dan mau hidup bagaimana, Apapun, sekecil atau sebesar apapun mimpi itu.

Karena agenda hari itu cukup padat, Aku tidak langsung membuka kertas mimpi mereka. Aku baru membukanya 3 hari kemudian, karena aku sempat lupa pada 2 hari sebelumnya. Betapa senangnya Aku melihat ada progress dan peningkatan kualitas berfikir yang cukup bagus dari cara mereka memandang mimpi dan hari depan, ini terlihat dari apa yang mereka tuliskan.

Dan aku lebih kaget ketiga membaca 1 kertas lagi, milik seseorang dengan identitas ‘ELIN’.. didalamnya hanya ada tulisan yang cukup singkat..’Elin ingin MATI, tapi sebelumnya elin pengen jadi penulis dulu’. Membacanya Aku merasa mataku berkaca-kaca.. ‘tidak masalah dik, ini saja sudah suatu peningkatan yang sangat baik’ ungkapku dalam hati.

Aku senang, bukan semata-mata karena Elin ingin juga jadi penulis seperti cita-citaku. tapi lebih kepada kesadarannya tentang essensi kebermanfaatan hidup yang sedang ia jalani dan bekalnya untuk ‘pulang’ seperti yang ia tuliskan didalam kertas mimpi kecil itu.


Memory ‘pojok’ kelas-Banjarmasin-

Ketika aku kembali menemukan kumpulan kertas mimpi itu, ditumpukan buku2ku

No comments: