Friday, February 8, 2008

Cinta Yg BerTauhid

Selaksa rasa berlomba mencari dimana muaranya
Lagi-lagi ia kembali tak berhasil mendefinisikan apa yang dimauinya

Luka tertawa, senyum menangis, mentari tetap bersinar meski gerimis

Ia tak mengerti, tapi ia tau jawabnya :

'karena mereka semua membawa pesan dari langit bertajuk cinta’

:
07-02-2008


Aku mengenalnya sekitar 4,5 tahun silam, pertama kali aku menjejakkan kaki di Unlam (Universitas Lambung Mangkurat) Kalimantan Selatan. Sapaan awalnya terasa biasa bagiku, pun ketika aku mulai mengenalnya dan mendefinisikan segala sesuatu tentangnya. Tak ada yang istimewa, tapi ku akui diam-diam sebongkah rasa kagum menyelinap dalam ruang rasaku dan aku peruntukkan buatnya.

Pelan tapi pasti, aku tak bisa membantah kalau bagiku dia memang istimewa. Konsistensinya dimataku bertambah ketika intensitas kerjaku bersamanya semakin sering. Amanah di Forum Studi Islam Ulul Albab FMIPA Unlam membuat kami semakin dekat. Dia adalah seniorku, Diah Perdana Fitriani. akhwat ke-dua yang kufikir mampu mengendalikanku tanpa aku sadari. Gayanya biasa, tampilannya sederhana, hampir tak pernah aku menemuinya dengan intonasi suara yang tak senada, terkesan lembut namun ketegasan selalu terpancar dari sorot matanya. Sebenarnya secara lahiriah karakternya sangat kontroversi dengan diriku, namun ada satu hal yang membuat kekagumanku selalu bertambah untuknya, hijab yang berbalut ketegasan dalam pergaulan itu benar-benar dimilikinya, dia punya izzah. Sesuatu yang saat ini banyak sekali tafsirnya, sampai-sampai tak bisa dikenali mana yang ‘isi’ dan mana yang sekedar ‘cover’nya saja.

Beberapa hari terakhir, kudengar kabar bahwa hari ini ia akan menikah. Prosesnya dilakukan begitu cepat. Tentu saja aku bahagia, karna tak satu kabar ‘aneh’ pun terdengar mengiringi acara pernikahannya, bisa dibilang prosesnya berjalan ‘aman & selamat’. Dia menikah dengan orang biasa yang luar biasa (ikhwannya orang ammah namun punya potensi besar untuk mengembangkan dakwah). Kemarin kami mengunjungi rumahnya, tak ada yang berubah, semuanya sama seperti dulu ketika aku sering mengantarnya pulang karena rapat di kampus baru selesai menjelang magrib. Ia menyambut kami dengan sebaris senyum, tak banyak kata-kata, jawaban-jawaban yang terlontar karena pertanyaan-pertanyaan nakal kami tetap sederhana namun penuh makna, bersayap-sayap (maklum, mba’ ku yang satu ini sastrawan, he…). Dia bilang biasa saja, namun aku yakin saat berbicara denganku ia sedang berusaha keras menyembunyikan perasaannya (karena dia pasti ga akan tahan kami ledekin terus beberapa menit kedepan), aku bisa membaca itu dari sorot mata dan gayanya berbicara, aku yakin itu!

Menurutku ini luar biasa, ditengah maraknya fenomena cinta yang berkembang tidak pada musimnya, dengan dalih ‘kita tanaman biasa seperti juga yang lainnya’. Ini adalah anugrah Allah yang dipercepat karena perniagaan cinta yang telah dilakukan hambanya, dengan menetapkan cinta kepadaNya di atas segala-galanya. Aku bahagia dan berdo’a semoga cinta yang mendasari pernikahan keduanya adalah cinta yang benar-benar berlandaskan tauhid. Cinta yang menjadi pupuk untuk menyuburkan pohon cintanya kepada Allah

Seperti keluarga ibrahim, mereka adalah profil keluarga yang menurutku mampu menempatkan cinta pada kerangka yang benar. Mereka mampu memaknai wala dan baro dengan benar, sehingga mudah bagi mereka untuk mentauhidkan apa yang mereka cintai, Cinta yang ditauhidkan! Karena menjadi fitrah bagi setiap manusia, bahwa ia akan senantiasa mengikuti irama apa yang ia cintai. Sehingga sangat rasional ketika Rasulullah mengajarkan umatnya berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku meminta untuk mencintaimu dan mencintai orang-orang yang mencintaimu dan mencintai segala perbuatan yang akan mendekatkan aku kepadamu”

Cinta yang bertauhid itu tentunya akan sulit diwujudkan oleh keluarga ibrahim ketika didalamnya tidak terdiri dari orang-orang yang mempunyai kekuatan fikiran dan keberanian jiwa. Karena orang yang mencintai sesuatu akan cendrung irrasional, namun ketika fitrahnya terjaga maka ia akan cendrung menjauhi itu, ketika fitrahnya terjaga maka ia akan mengerti bahwa rasa-rasa yang tak seharusnya itu harus segera ia ‘amankan’. Tentunya konsekuensi dari tindakan ini hanya akan bisa diambil dan dijalankan oleh orang-orang yang mempunyai keberanian jiwa, karena tidak semua orang bisa bertahan dalam kondisi seperti ini, di saat kita sendiri gamang menafsirkan antara cinta yang dilandasi nafsu & cinta yang dilandasi tauhid (karena tak jarang cinta yang berlandas nafsu meminjam topeng, seolah-olah menjadi cinta yang bertauhid). Kunci dari semuanya adalah kekuatan iman. Imanlah yang akan bertindak sebagai penerjemah ketika rasa kita tak lagi mampu menterjemahkan, imanlah yang akan mengambil keputusan ketika kita gamang dan kehilangan pendirian. Iamanlah yang akan memberikan penegasan ketika lisan kita mencoba cerdas berdialektika dengan segudang pembenaran. Kuncinya ada pada iman!

So, ketika mulai ada benalu di cabang-cabang cinta kita dan kita sadar sepenuhnya bahwa jika benalu itu dibiarkan maka ia akan merusak pohon cinta kita. Tapi ternyata dihati kita masih ada kata ‘sayang’ untuk memangkasnya. Maka tanyakanlah pada diri kita. Sebegitu lemahkah iman yang sekarang bertengger di dada kita? Wallahu’alam…


Teruntuk k’ Diah & her husband
Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fii khair…

No comments: