Sudah bukan rahasia umum kalau satu dua tahun terakhir ini proses pengkaderan diakui berjalan amat lamban, contoh konkrit, ya didaerah saya. Kualitas dan kuantitas hasil rekrutmen menjadi PeEr yang seringkali membuat kepala pusing tak hanya 7 keliling. Bahkan lebih ruwet dari study analisis matematika! (mata kuliah yang paling tidak saya sukai :p)
Tapi walaupun begitu, justru masalah pengkaderan ini lah yang sering kali, memenuhi tema-tema diskusi kami. Masalah klasik yang udah basi, tapi tetap saja semangat untuk membahasnya. Dari A to Z-nya realitas pengkaderan, semuanya dikuliti. Saya juga bingung kenapa kami seringkali membahas hal-hal yang memusingkan. Mungkin bisa jadi, justru pekerjaan sulit itulah yang membuat kita tertantang. Atau hanya ingin sekedar berbagi meringankan beban.
Sebagian besar kita tentunya sepakat, fikrah dulu baru harakah. Ilmu dulu baru amal, faham dulu baru gerak. Sejauh ini pun saya masih mempunyai fikiran yang sama. Syeikh Hasan Albanna tentu tidak sembarangan menempatkan poin pertama hingga kesepuluh dalam rukun bai’atnya. Ada pertimbangan, disusun berdasarkan analisis yang matang. Meskipun semuanya saling terkait, poin yang satu akan menyempurnakan kesembilan poin yang lain.
Saya sepakat, karena memang setiap perbuatan itu akan lahir dari sebuah pemikiran, dari sebuah alasan kenapa hal itu harus dilakukan. Begitupun untuk merubah karakter/perbuatan seseorang. Yang pertama kali harus diubah adalah pemikirannya. Semakin berkualitas pemikirannya, maka akan semakin berkualitas juga perbuatannya.
Contoh simplenya ghazwul fikri, Sebuah produk brilian guna menghancurkan peradaban. Peleburan sekaligus Penghancuran pemikiran. Karena saat mindsetnya sesat, maka perbuatannya pun akan senada.
Lantas apa yang membuat pengkaderan saat ini ga berjalan sebagaimana seharusnya. Kalau dari hasil pengalaman, analisa dan diskusi yang konklusinya seringkali saya ciptakan sendiri, yang menyebabkan itu semua adalah karena kita terlalu menuntut amal dari seseorang, sementara kefahamannya terhadap amal itu sendiri ga ada. Dia ga faham. Dan ini diperparah dengan tuntutan kita untuk senantiasa tsiqah dan tha’at saja pada kita, pada jama’ah ini. Sementara pertanyaan ’kenapa’ dari mereka tidak kunjung kita berikan jawaban. Bahkan lebih sadisnya lagi, kita menuntut mereka untuk memahaminya sendiri, tanpa kita berikan sarana.
Tarbiyah Dzatiyah...!!
Padahal mungkin mereka punya keterbatasan untuk melakukan itu semua. Kita pun berkilah bahwa terlalu sibuk dengan amal ini dan itu (Ini introspeksi juga buat saya). Akhirnya mereka jumud, merasa ga mendapatkan apapun dari amal yang mereka kerjakan. And than, wait and see, kita bisa lihat sendiri. Satu persatu gugur.
Lalu kita berusaha membenarkan fenomena ini sebagai sunnatullah dakwah, selalu ada yang terseleksi dari kafilah ini. Perihal sunnatullah da’wah saya sepakat, tapi yang terjadi seolah pembelaan diri. Yah..lagi-lagi kita sangat pandai merasionalisasi keadaan, mengkambinghitamkan sunnatullah. Padahal pada tataran aplikasinya, pengelolaan kader kitalah yang masih lemah.
Masalah tsiqah-tsiqahan ataupun thaat inipun saya fikir terjadi pada sebagian besar kader KAMMI, termasuk saya! Dulu saat baru gabung dengan harakah da’wah saya ga tau kenapa harus begini, kenapa harus begitu, kenapa harus aksi dan lain sebagainya. Dan saat itu, meskipun sering nanya tapi saya ga pernah puas dengan jawaban yang diberikan. Lha gimana bisa puas, kalau jawabannya ”lihat saja nanti, biar waktu yang menjawabnya” atau ”jalanin aja dulu, nanti juga bakal tau sendiri”. Gara-gara ini, sampai-sampai gank kami sempat dapat cap sebagai ’trouble maker’, padahal menurut saya inilah yang namanya kritis.
Awal mula nyemplung diKAMMI pun seolah ada keterpaksaan. Mbak yang ngajak saya sempat bilang, Ikutan aja dulu, DMnya KAMMI. Nanti kalau ditengah perjalanannya ada yang ga sreg, gapapa keluar.Lho??
Padahal, sepemahaman saya. Yang dikenalkan pertama kali, bukanlah harakah (pergerakan), bukan juga wajihah (organisasi) tapi keindahan islam. Komitmen terhadap islam yang pertama kali dibentuk, baru kemudian dijelaskan bahwa komitmen menegakkan islam itu tidak bisa diusung sendirian, butuh kebersamaan, kerjasama. Baru kemudian ke wasilah (sarana) untuk mencapai tujuan dari komitmen tersebut. Kalaupun harus langsung ke organisasi, aspek-aspek sebelumnya juga ga bisa ditinggalkan. Seperti itukan seharusnya?
Tapi kenyataannya, jauuh berbeda!
Dua tahun diKAMMI, fikrah keKAMMIan saya masih ga bagus-bagus (emang sekarang bagus :p) Ketika diturunkan sebuah kebijakan, yang tersampaikan hanya dalam tataran praktisnya. Sementara alasan kenapa kebijakan itu diambil bukan konsumsi publik KAMMI, seolah-olah hanya milik ’orang-orang yang berhak’ saja. Sampai akhirnya terjadi pembekuan daya nalar. yang senior ga berkembang, karna jarang dapat kritikan. Yang junior apalagi, karena ga ada suplemen pemahaman. Tidak ada budaya tanding pemikiran. Akhirnya sebagian besar kader tumbuh dengan pupuk tsiqah dan tha’at. Toh, sesama muslim tidak mungkin menjerumuskan. Dan sepertinya, tuntutannya memang seperti itu: Tsiqah, Tha’at dan Amal. Kalau mau faham, ya cari sendiri ilmunya!
Sekarang saya sadar, bahwa perubahan itu harus dimulai. Tak terbatas hanya pada dinding diskusi dan sekat tulisan. Sekarang saya juga malas untuk menuntut, Karena da’wah adalah Qudwah tak sekedar ajakan. Belakangan ini saya banyak berfikir bahwa jika kita pandai memeras amal, maka kita akan mendapat ilmu. Wallahu’alam
Teruntuk saudaraku distruktur kepengurusan KAMDA, Solidkan barisan.. sudah terlalu banyak waktu qt terbuang..
Teruntuk kader KAMMI dimanapun berada, Terus Bergerak, Tuntaskan Perubahan!
In the room of jihad, 22.15 – 22.51wita
1 comment:
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the SBTVD, I hope you enjoy. The address is http://sbtvd.blogspot.com. A hug.http://sbtvd.blogspot.com/
Post a Comment