Suprise!
Hari ini Allah kembali memberi pelajaran, betapa ternyata aku masih harus banyak belajar. Tepatnya tadi malam Aku mengikuti sebuah diskusi bertema 'teori pembebesan islam' dengan salah seorang ustadz yang katanya lulusan Iran. yang hebatnya lagi acara ini bukan diadakan oleh teman-teman dari kelompok-kelompok studi islam kampus melainkan dari kelompok MAPALA alias mahasiswa pencinta alam, hebat bukan? menurut aku pribadi ini merupakan kemajuan cara pandang akan sebuah kebutuhan tentang ajaran agama sebagai muslim.
Diskusi berjalan mengalir. seru, religius namun ilmiah. Seperti potongan kalimat ilmuan islam ternama yang pernah Aku baca, beliau mengatakan bahwa 'islam adalah agama logika'. aku fikir diskusi malam tadi cukup representatif menggambarkan potongan kalimat-kalimat tersebut. Bagimana kemudian agama (islam) coba dimaknai dan diterjemahkan oleh akal kedalam contoh-contoh konkrit yang secara logika sangat sulit untuk dibantah atau dipatahkan (mudah diterima). Rasionalisasi untuk membuktikan bahwa islam sebagai agama yang syamil dan mutakamil dimunculkan dengan argumentasi yang lugas&cerdas oleh ustadz (yang menurut analisaku menganut ajaran syiah) itu.
Pembahasannya tajam tapi juga cukup memusingkan, yang pasti satu pelajaran berharga yang aku dapat: jangan sekali-kali salah memilih diksi (kata) ketika berdiskusi dengan orang-orang seperti ini, selain itu argumentasi yang digunakanpun harus yang sangat mendasar. karna jika salah omong anda bisa dibantai habis-habisan dan dibuat bingung, mirip seperti pengalaman saya belajar matematika, penuh analisa, abstrak namun valid!
Agak berbeda dengan cara belajar aku selama ini, lebih cendrung 'pasrah' untuk memahami hal-hal bersifat ghaib yang mestinya tidak lagi menjadi perdebatan. Namun kali ini berbeda beliau mampu menemukan satu titik kesehfahaman yang ditarik dari nalar akal&dialektika religius yang bersumber dari niali2 dasar agama. metode doktrin yang cukup baik, namun jika tidak kuat sangat mungkin untuk salah tafsir&menggerus keyakinan. maklum nilai filsafatnya cukup kental :)
Namun sampai hari ini masih terlalu banyak paradoks yang ada dikepala saya, jika prinsip-prinsip dasar itu begitu indah dikuasai, lantas mengapa ada aplikasi yang begitu jauh berbeda ketika prinsip-prinsip dasar itu berdiferensiasi dan ditabrakkan dengan realitas? yang pasti ketika kita berbicara logika, maka akan kita temukan ruang-ruang persepsi disana. yang menjadi masalah, tidak mungkin kita menilai sesuatu memakai persepsi orang lain, persepsi orang lain hanya cukup menjadi referensi yang bisa diterima namun bisa jadi ditolak. namun aku fikir logika saja tidak cukup masih ada ruang rasa disana yang pemeran utamanya adalah nurani. namun disaat sekarang ini berapa banyak orang yang mampu sungguh-sungguh berdialog dengan nuraninya? variabel apa yang menjadi tolak ukur nurani? apakah hanya rasa nyaman? kalau seperti itu, jawabannya akan kembali menjadi sulit karena semua orang mempunyai ego. Pembahasannya tentang ini hampir tak ada yang detail, masih begitu general karena memang hanya sebatas itulah yang bisa dibahas. konklusi yang bisa aku ambil adalah masing-masing diri kita harus mengoptimalkan daya nalar & kebeningan hati untuk semakin mempertajam nilai-nilai kebenaran itu. ujung-ujungnya kembali kepada diri masing2. bagaimana kita mampu mengapresiasi diri dan melakukan pencerahan pada diri kita. secara teori kelihatan sederhana namun ternyata begitu rumit!
Sampai saat ini aku belum bisa menemukan jawabannya, haruskah kembali merujuk pada kebijakan sebelumnya: 'biarlah waktu yang akan menjawabnya, hhff.........'
Banjarbaru, desember 08
dipersimpangan...
Diskusi berjalan mengalir. seru, religius namun ilmiah. Seperti potongan kalimat ilmuan islam ternama yang pernah Aku baca, beliau mengatakan bahwa 'islam adalah agama logika'. aku fikir diskusi malam tadi cukup representatif menggambarkan potongan kalimat-kalimat tersebut. Bagimana kemudian agama (islam) coba dimaknai dan diterjemahkan oleh akal kedalam contoh-contoh konkrit yang secara logika sangat sulit untuk dibantah atau dipatahkan (mudah diterima). Rasionalisasi untuk membuktikan bahwa islam sebagai agama yang syamil dan mutakamil dimunculkan dengan argumentasi yang lugas&cerdas oleh ustadz (yang menurut analisaku menganut ajaran syiah) itu.
Pembahasannya tajam tapi juga cukup memusingkan, yang pasti satu pelajaran berharga yang aku dapat: jangan sekali-kali salah memilih diksi (kata) ketika berdiskusi dengan orang-orang seperti ini, selain itu argumentasi yang digunakanpun harus yang sangat mendasar. karna jika salah omong anda bisa dibantai habis-habisan dan dibuat bingung, mirip seperti pengalaman saya belajar matematika, penuh analisa, abstrak namun valid!
Agak berbeda dengan cara belajar aku selama ini, lebih cendrung 'pasrah' untuk memahami hal-hal bersifat ghaib yang mestinya tidak lagi menjadi perdebatan. Namun kali ini berbeda beliau mampu menemukan satu titik kesehfahaman yang ditarik dari nalar akal&dialektika religius yang bersumber dari niali2 dasar agama. metode doktrin yang cukup baik, namun jika tidak kuat sangat mungkin untuk salah tafsir&menggerus keyakinan. maklum nilai filsafatnya cukup kental :)
Namun sampai hari ini masih terlalu banyak paradoks yang ada dikepala saya, jika prinsip-prinsip dasar itu begitu indah dikuasai, lantas mengapa ada aplikasi yang begitu jauh berbeda ketika prinsip-prinsip dasar itu berdiferensiasi dan ditabrakkan dengan realitas? yang pasti ketika kita berbicara logika, maka akan kita temukan ruang-ruang persepsi disana. yang menjadi masalah, tidak mungkin kita menilai sesuatu memakai persepsi orang lain, persepsi orang lain hanya cukup menjadi referensi yang bisa diterima namun bisa jadi ditolak. namun aku fikir logika saja tidak cukup masih ada ruang rasa disana yang pemeran utamanya adalah nurani. namun disaat sekarang ini berapa banyak orang yang mampu sungguh-sungguh berdialog dengan nuraninya? variabel apa yang menjadi tolak ukur nurani? apakah hanya rasa nyaman? kalau seperti itu, jawabannya akan kembali menjadi sulit karena semua orang mempunyai ego. Pembahasannya tentang ini hampir tak ada yang detail, masih begitu general karena memang hanya sebatas itulah yang bisa dibahas. konklusi yang bisa aku ambil adalah masing-masing diri kita harus mengoptimalkan daya nalar & kebeningan hati untuk semakin mempertajam nilai-nilai kebenaran itu. ujung-ujungnya kembali kepada diri masing2. bagaimana kita mampu mengapresiasi diri dan melakukan pencerahan pada diri kita. secara teori kelihatan sederhana namun ternyata begitu rumit!
Sampai saat ini aku belum bisa menemukan jawabannya, haruskah kembali merujuk pada kebijakan sebelumnya: 'biarlah waktu yang akan menjawabnya, hhff.........'
Banjarbaru, desember 08
dipersimpangan...