Monday, February 11, 2008

Antara ILmu & AmaL

Sudah bukan rahasia umum kalau satu dua tahun terakhir ini proses pengkaderan diakui berjalan amat lamban, contoh konkrit, ya didaerah saya. Kualitas dan kuantitas hasil rekrutmen menjadi PeEr yang seringkali membuat kepala pusing tak hanya 7 keliling. Bahkan lebih ruwet dari study analisis matematika! (mata kuliah yang paling tidak saya sukai :p)

Tapi walaupun begitu, justru masalah pengkaderan ini lah yang sering kali, memenuhi tema-tema diskusi kami. Masalah klasik yang udah basi, tapi tetap saja semangat untuk membahasnya. Dari A to Z-nya realitas pengkaderan, semuanya dikuliti. Saya juga bingung kenapa kami seringkali membahas hal-hal yang memusingkan. Mungkin bisa jadi, justru pekerjaan sulit itulah yang membuat kita tertantang. Atau hanya ingin sekedar berbagi meringankan beban.

Sebagian besar kita tentunya sepakat, fikrah dulu baru harakah. Ilmu dulu baru amal, faham dulu baru gerak. Sejauh ini pun saya masih mempunyai fikiran yang sama. Syeikh Hasan Albanna tentu tidak sembarangan menempatkan poin pertama hingga kesepuluh dalam rukun bai’atnya. Ada pertimbangan, disusun berdasarkan analisis yang matang. Meskipun semuanya saling terkait, poin yang satu akan menyempurnakan kesembilan poin yang lain.

Saya sepakat, karena memang setiap perbuatan itu akan lahir dari sebuah pemikiran, dari sebuah alasan kenapa hal itu harus dilakukan. Begitupun untuk merubah karakter/perbuatan seseorang. Yang pertama kali harus diubah adalah pemikirannya. Semakin berkualitas pemikirannya, maka akan semakin berkualitas juga perbuatannya.

Contoh simplenya ghazwul fikri, Sebuah produk brilian guna menghancurkan peradaban. Peleburan sekaligus Penghancuran pemikiran. Karena saat mindsetnya sesat, maka perbuatannya pun akan senada.

Lantas apa yang membuat pengkaderan saat ini ga berjalan sebagaimana seharusnya. Kalau dari hasil pengalaman, analisa dan diskusi yang konklusinya seringkali saya ciptakan sendiri, yang menyebabkan itu semua adalah karena kita terlalu menuntut amal dari seseorang, sementara kefahamannya terhadap amal itu sendiri ga ada. Dia ga faham. Dan ini diperparah dengan tuntutan kita untuk senantiasa tsiqah dan tha’at saja pada kita, pada jama’ah ini. Sementara pertanyaan ’kenapa’ dari mereka tidak kunjung kita berikan jawaban. Bahkan lebih sadisnya lagi, kita menuntut mereka untuk memahaminya sendiri, tanpa kita berikan sarana.

Tarbiyah Dzatiyah...!!
Padahal mungkin mereka punya keterbatasan untuk melakukan itu semua. Kita pun berkilah bahwa terlalu sibuk dengan amal ini dan itu (Ini introspeksi juga buat saya). Akhirnya mereka jumud, merasa ga mendapatkan apapun dari amal yang mereka kerjakan
. And than, wait and see, kita bisa lihat sendiri. Satu persatu gugur.

Lalu kita berusaha membenarkan fenomena ini sebagai sunnatullah dakwah, selalu ada yang terseleksi dari kafilah ini. Perihal sunnatullah da’wah saya sepakat, tapi yang terjadi seolah pembelaan diri. Yah..lagi-lagi kita sangat pandai merasionalisasi keadaan, mengkambinghitamkan sunnatullah. Padahal pada tataran aplikasinya, pengelolaan kader kitalah yang masih lemah.

Masalah tsiqah-tsiqahan ataupun thaat inipun saya fikir terjadi pada sebagian besar kader KAMMI, termasuk saya! Dulu saat baru gabung dengan harakah da’wah saya ga tau kenapa harus begini, kenapa harus begitu, kenapa harus aksi dan lain sebagainya. Dan saat itu, meskipun sering nanya tapi saya ga pernah puas dengan jawaban yang diberikan. Lha gimana bisa puas, kalau jawabannya ”lihat saja nanti, biar waktu yang menjawabnya” atau ”jalanin aja dulu, nanti juga bakal tau sendiri”. Gara-gara ini, sampai-sampai gank kami sempat dapat cap sebagai ’trouble maker’, padahal menurut saya inilah yang namanya kritis.

Awal mula nyemplung diKAMMI pun seolah ada keterpaksaan. Mbak yang ngajak saya sempat bilang, Ikutan aja dulu, DMnya KAMMI. Nanti kalau ditengah perjalanannya ada yang ga sreg, gapapa keluar.Lho??
Padahal, sepemahaman saya. Yang dikenalkan pertama kali, bukanlah harakah (pergerakan), bukan juga wajihah (organisasi) tapi keindahan islam. Komitmen terhadap islam yang pertama kali dibentuk, baru kemudian dijelaskan bahwa komitmen menegakkan islam itu tidak bisa diusung sendirian, butuh kebersamaan, kerjasama. Baru kemudian ke wasilah (sarana) untuk mencapai tujuan dari komitmen tersebut. Kalaupun harus langsung ke organisasi, aspek-aspek sebelumnya juga ga bisa ditinggalkan. Seperti itukan seharusnya?

Tapi kenyataannya, jauuh berbeda!
Dua tahun diKAMMI, fikrah keKAMMIan saya masih ga bagus-bagus (emang sekarang bagus :p) Ketika diturunkan sebuah kebijakan, yang tersampaikan hanya dalam tataran praktisnya. Sementara alasan kenapa kebijakan itu diambil bukan konsumsi publik KAMMI, seolah-olah hanya milik ’orang-orang yang berhak’ saja. Sampai akhirnya terjadi pembekuan daya nalar. yang senior ga berkembang, karna jarang dapat kritikan. Yang junior apalagi, karena ga ada suplemen pemahaman. Tidak ada budaya tanding pemikiran. Akhirnya sebagian besar kader tumbuh dengan pupuk tsiqah dan tha’at. Toh, sesama muslim tidak mungkin menjerumuskan. Dan sepertinya, tuntutannya memang seperti itu: Tsiqah, Tha’at dan Amal. Kalau mau faham, ya cari sendiri ilmunya!

Sekarang saya sadar, bahwa perubahan itu harus dimulai. Tak terbatas hanya pada dinding diskusi dan sekat tulisan. Sekarang saya juga malas untuk menuntut, Karena da’wah adalah Qudwah tak sekedar ajakan. Belakangan ini saya banyak berfikir bahwa jika kita pandai memeras amal, maka kita akan mendapat ilmu. Wallahu’alam


Teruntuk saudaraku distruktur kepengurusan KAMDA, Solidkan barisan.. sudah terlalu banyak waktu qt terbuang..
Teruntuk kader KAMMI dimanapun berada, Terus Bergerak, Tuntaskan Perubahan!
In the room of jihad, 22.15 – 22.51wita



Friday, February 8, 2008

Cinta Yg BerTauhid

Selaksa rasa berlomba mencari dimana muaranya
Lagi-lagi ia kembali tak berhasil mendefinisikan apa yang dimauinya

Luka tertawa, senyum menangis, mentari tetap bersinar meski gerimis

Ia tak mengerti, tapi ia tau jawabnya :

'karena mereka semua membawa pesan dari langit bertajuk cinta’

:
07-02-2008


Aku mengenalnya sekitar 4,5 tahun silam, pertama kali aku menjejakkan kaki di Unlam (Universitas Lambung Mangkurat) Kalimantan Selatan. Sapaan awalnya terasa biasa bagiku, pun ketika aku mulai mengenalnya dan mendefinisikan segala sesuatu tentangnya. Tak ada yang istimewa, tapi ku akui diam-diam sebongkah rasa kagum menyelinap dalam ruang rasaku dan aku peruntukkan buatnya.

Pelan tapi pasti, aku tak bisa membantah kalau bagiku dia memang istimewa. Konsistensinya dimataku bertambah ketika intensitas kerjaku bersamanya semakin sering. Amanah di Forum Studi Islam Ulul Albab FMIPA Unlam membuat kami semakin dekat. Dia adalah seniorku, Diah Perdana Fitriani. akhwat ke-dua yang kufikir mampu mengendalikanku tanpa aku sadari. Gayanya biasa, tampilannya sederhana, hampir tak pernah aku menemuinya dengan intonasi suara yang tak senada, terkesan lembut namun ketegasan selalu terpancar dari sorot matanya. Sebenarnya secara lahiriah karakternya sangat kontroversi dengan diriku, namun ada satu hal yang membuat kekagumanku selalu bertambah untuknya, hijab yang berbalut ketegasan dalam pergaulan itu benar-benar dimilikinya, dia punya izzah. Sesuatu yang saat ini banyak sekali tafsirnya, sampai-sampai tak bisa dikenali mana yang ‘isi’ dan mana yang sekedar ‘cover’nya saja.

Beberapa hari terakhir, kudengar kabar bahwa hari ini ia akan menikah. Prosesnya dilakukan begitu cepat. Tentu saja aku bahagia, karna tak satu kabar ‘aneh’ pun terdengar mengiringi acara pernikahannya, bisa dibilang prosesnya berjalan ‘aman & selamat’. Dia menikah dengan orang biasa yang luar biasa (ikhwannya orang ammah namun punya potensi besar untuk mengembangkan dakwah). Kemarin kami mengunjungi rumahnya, tak ada yang berubah, semuanya sama seperti dulu ketika aku sering mengantarnya pulang karena rapat di kampus baru selesai menjelang magrib. Ia menyambut kami dengan sebaris senyum, tak banyak kata-kata, jawaban-jawaban yang terlontar karena pertanyaan-pertanyaan nakal kami tetap sederhana namun penuh makna, bersayap-sayap (maklum, mba’ ku yang satu ini sastrawan, he…). Dia bilang biasa saja, namun aku yakin saat berbicara denganku ia sedang berusaha keras menyembunyikan perasaannya (karena dia pasti ga akan tahan kami ledekin terus beberapa menit kedepan), aku bisa membaca itu dari sorot mata dan gayanya berbicara, aku yakin itu!

Menurutku ini luar biasa, ditengah maraknya fenomena cinta yang berkembang tidak pada musimnya, dengan dalih ‘kita tanaman biasa seperti juga yang lainnya’. Ini adalah anugrah Allah yang dipercepat karena perniagaan cinta yang telah dilakukan hambanya, dengan menetapkan cinta kepadaNya di atas segala-galanya. Aku bahagia dan berdo’a semoga cinta yang mendasari pernikahan keduanya adalah cinta yang benar-benar berlandaskan tauhid. Cinta yang menjadi pupuk untuk menyuburkan pohon cintanya kepada Allah

Seperti keluarga ibrahim, mereka adalah profil keluarga yang menurutku mampu menempatkan cinta pada kerangka yang benar. Mereka mampu memaknai wala dan baro dengan benar, sehingga mudah bagi mereka untuk mentauhidkan apa yang mereka cintai, Cinta yang ditauhidkan! Karena menjadi fitrah bagi setiap manusia, bahwa ia akan senantiasa mengikuti irama apa yang ia cintai. Sehingga sangat rasional ketika Rasulullah mengajarkan umatnya berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku meminta untuk mencintaimu dan mencintai orang-orang yang mencintaimu dan mencintai segala perbuatan yang akan mendekatkan aku kepadamu”

Cinta yang bertauhid itu tentunya akan sulit diwujudkan oleh keluarga ibrahim ketika didalamnya tidak terdiri dari orang-orang yang mempunyai kekuatan fikiran dan keberanian jiwa. Karena orang yang mencintai sesuatu akan cendrung irrasional, namun ketika fitrahnya terjaga maka ia akan cendrung menjauhi itu, ketika fitrahnya terjaga maka ia akan mengerti bahwa rasa-rasa yang tak seharusnya itu harus segera ia ‘amankan’. Tentunya konsekuensi dari tindakan ini hanya akan bisa diambil dan dijalankan oleh orang-orang yang mempunyai keberanian jiwa, karena tidak semua orang bisa bertahan dalam kondisi seperti ini, di saat kita sendiri gamang menafsirkan antara cinta yang dilandasi nafsu & cinta yang dilandasi tauhid (karena tak jarang cinta yang berlandas nafsu meminjam topeng, seolah-olah menjadi cinta yang bertauhid). Kunci dari semuanya adalah kekuatan iman. Imanlah yang akan bertindak sebagai penerjemah ketika rasa kita tak lagi mampu menterjemahkan, imanlah yang akan mengambil keputusan ketika kita gamang dan kehilangan pendirian. Iamanlah yang akan memberikan penegasan ketika lisan kita mencoba cerdas berdialektika dengan segudang pembenaran. Kuncinya ada pada iman!

So, ketika mulai ada benalu di cabang-cabang cinta kita dan kita sadar sepenuhnya bahwa jika benalu itu dibiarkan maka ia akan merusak pohon cinta kita. Tapi ternyata dihati kita masih ada kata ‘sayang’ untuk memangkasnya. Maka tanyakanlah pada diri kita. Sebegitu lemahkah iman yang sekarang bertengger di dada kita? Wallahu’alam…


Teruntuk k’ Diah & her husband
Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fii khair…